Xinjiang
 - Muslim Uighur di Cina tak tenang menjalankan ibadah puasa selama 
bulan Ramadan. Menurut juru bicara World Uighur Congress, Dilxadi 
Rexiti, para pejabat pemerintah berulang kali masuk ke rumah-rumah warga
 Uighur untuk memaksa mereka makan dan minum pada siang hari di bulan 
Ramadan.
Laporan lain oleh Uighur American Association (UAA) menyatakan 
pemilik restoran di Hotan wajib buka selama Ramadan. "Bahkan jika 
ditutup karena sedang melakukan perbaikan, mereka didenda," kata laporan
 UAA. 
Selain itu, Karamay Daily melaporkan, akses kaum Muslim masuk ke 
masjid dibatasi. Rexiti menyatakan, pengajian sepenuhnya dilarang dan 
tempat-tempat ibadah diawasi ketat, terutama di utara kota Karamay.
Pegawai pemerintah, dosen dan mahasiswa juga didenda jika berpuasa. 
Menurut laporan tahunan USCIRF, banyak Muslim Uighur dipenjara karena 
terlibat dalam kegiatan keagamaan. "Diluncurkan atas nama stabilitas dan
 keamanan, Beijing melakukan penindasan terstruktur terhadap Muslim 
Uighur, termasuk penargetan pertemuan pribadi yang damai untuk studi 
agama dan ibadah," kata Katrina Lantos Swett, ketua Komisi AS tentang 
Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF), seperti dikutip oleh The 
Muslim Village pada Senin. 
"Pembatasan agama yang sangat agresif sangat mengganggu bagi 
kehidupan Muslim Uighur," kata Presiden UAA Alim Seytoff. Ia menyatakan,
 pengawasan ketat justru akan semakin memancing kemarahan rakyat Uighur.
 "Kekerasan bisa meletus lagi karena tindakan represif yang sistematis."
Pengamat Cina di Singapura memperingatkan situasi di Xinjiang lebih 
dari masalah keamanan lokal. "Cina perlu mengelola minoritas dengan 
lebih baik," kata Ronan Gunaratna, kepala Pusat Internasional untuk 
Penelitian Kekerasan Politik dan Terorisme Singapura.
Pengawasan ketat Cina atas Uighur, kata ahli lain, hanya akan membawa
 Cina memasuki "lingkaran setan" yang hanya menciptakan lebih banyak 
kebencian. Langkah-langkah ini benar-benar mengancam gejolak  yang 
berpotensi pecah sewaktu-waktu baik di tingkat regional, atau bahkan 
nasional. 
"Cina bisa meledak di mana saja, tapi Xinjiang berada di barisan 
depan," kata Kerry Brown, direktur Pusat Studi Cina di Universitas 
Sydney.
Etnis Uighur adalah minoritas berbahasa Turki dengan delapan juta 
warga di wilayah Xinjiang barat laut. Xinjiang, kerap disebut Turkestan 
Timur, menjadi otonom sejak tahun 1955, namun terus menjadi subyek 
tindakan keras aparat keamanan Cina. 
Kelompok-kelompok HAM menuduh pihak berwenang Cina bersikap represif 
terhadap Muslim Uighur di Xinjiang atas nama mencegahan terorisme. 
Muslim menuduh pemerintah berusaha memberangus jutaan etnis Han di 
wilayah mereka dengan tujuan akhir melenyapkan identitas dan budaya. (sumber:TEMPO.CO)

Posting Komentar