A. Muqaddimah
Dalam panggung sejarah, Islam sudah lama dikenal oleh penduduk Melayu. Bahkan menurut Ustadz ‘Abdul Malik bin ‘Abdul Karim bin Amrullah rahimahullah atau
yang lebih dikenal dengan Hamka, Islam sudah melebarkan sayapnya
di bumi Melayu sejak abad pertama hijriah. Namun sayang, meski Islam
sudah sekian abad di Melayu, ajaran-ajaran yang diamalkan kaum muslimin
di sana banyak yang menyimpang dari ajaran Islam yang dibawa Rasulullah.
Ajaran-ajaran tasawwuf ala shufi dan keyakinan-keyakinan bid’ah dan
sesat seperti takhayul, khurafat sampai ajaran martabat tujuh atau wihdatul wujud banyak mewarnai amalan-amalan kaum muslimin di bumi Melayu.
Seiring bergulingnya waktu, kaum muslimin di Melayu mulai sadar akan
kekeliruan ajaran yang selama ini mereka anggap bagian dari Islam justru
bertentangan. Maka usaha-usaha dalam memurnikan ajaran Islam di Melayu
pun segera dimulai. ‘Episode’ pertama diawali oleh tiga jama’ah haji
yang membawa oleh-oleh dari Tanah Suci berupa ‘filter’ ajaran sesat di
ranah Minangkabau. Kemudian ‘episode’ berikutnya ditunjukkan oleh Syaikh
Ahmad Al Khathib rahimahullah, seorang ulama yang muqim di Makkah yang terkenal dengan kegigihannya dalam menyerang kelompok-kelompok ahlul bida’ wal ahwa’ dan adat-adat yang bertentangan dengan syariat Islam baik melalui tulisan-tulisan maupun murid-muridnya yang kembali ke Melayu.
B. Nasab & Kelahiran Syaikh Ahmad Al Khathib
Beliau bernama lengkap Al ‘Allamah Asy Syaikh Ahmad bin ‘Abdul Lathif
[bin ‘Abdurrahman] bin ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al Khathib Al
Minangkabawi [Al Minkabawi] Al Jawi Al Makki Asy Syafi’i Al Atsari rahimahullah.
Syaikh Ahmad Al Khathib dilahirkan di Koto Tuo, Desa Kota Gadang,
Kec. Ampek Angkek Angkat Candung, Kab. Agam, Prov. Sumatera Barat pada
hari Senin 6 Dzul Hijjah 1276 H bertepatan dengan 26 Mei 1860 M di
tengah keluarga bangsawan. ‘Abdullah, kakek Syaikh Ahmad atau buyut
menurut riwayat lain, adalah seorang ulama kenamaan. Oleh masyarakat
Koto Gadang, ‘Abdullah ditunjuk sebagai imam dan khathib. Sejak itulah
gelar Khathib Nagari melekat dibelakang namanya dan berlanjut ke
keturunannya di kemudian hari.
Ada perbedaan mengenai siapa kakek Syaikh Ahmad. Menurut ‘Umar ‘Abdul
Jabbar, ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman Al Mu’allimi, dan Ibrahim bin
‘Abdullah Al Hazimi, kakek Syaikh Ahmad adalah ‘Abdullah. Sedangkan
menurut Dadang A. Dahlan, kakek Syaikh Ahmad adalah ‘Abdurrahman yang
bergelar Datuk Rangkayo Basa. Terlepas dari perbedaan itu, yang jelas
Syaikh Ahmad berasal dari keluarga bangsawan, baik dari jalur ayah maupun ibu.
C. Perjalanan Syaikh Ahmad dalam Thalabul ‘Ilmi
Ketika masih di kampung kelahirannya, Ahmad kecil sempat mengenyam
pendidikan formal, yaitu pendidikan dasar dan berlanjut ke Sekolah Raja
atau Kweek School yang tamat tahun 1871 M.
Di samping belajar di pendidikan formal yang dikelola Belanda itu, Ahmad kecil juga mempelajari mabadi’ (dasar-dasar)
ilmu agama dari Syaikh ‘Abdul Lathif, sang ayah. Dari sang ayah pula,
Ahmad kecil menghafal Al Quran dan berhasil menghafalkan beberapa juz.
Pada tahun 1287 H, Ahmad kecil diajak oleh sang ayah, ‘Abdul Lathif,
ke Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Setelah rangkaian ibadah haji
selesai ditunaikan, ‘Abdullah kembali ke Sumatera Barat sementara Ahmad
tetap tinggal di Makkah untuk menyelesaikan hafalan Al Qurannya dan
menuntut ilmu dari para ulama-ulama Makkah terutama yang mengajar di
Masjid Al Haram terutama yang mengajar di Masjid Al Haram.
Di antara guru-guru Syaikh Ahmad di Makkah adalah:
- Sayyid ‘Umar bin Muhammad bin Mahmud Syatha Al Makki Asy Syafi’I (1259-1330 H)
- Sayyid ‘Utsman bin Muhammad Syatha Al Makki Asy Syafi’i (1263-1295 H)
- Sayyid Bakri bin Muhammad Zainul ‘Abidin Syatha Ad Dimyathi Al Makki Asy Syafi’I (1266-1310 H) –penulis I’anatuth Thalibin.
Dalam Ensiklopedi Ulama Nusantara dan Cahaya dan Perajut Persatuan mencatat beberapa ulama lain sebagai guru Syaikh Ahmad, yaitu: - Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan (wafat 1304) –mufti Madzhab Syafi’I di Makkah-
- Yahya Al Qalyubi
- Muhammad Shalih Al Kurdi
Mengenai bagaimana semangat Syaikh Ahmad dalam thalabul ‘ilmi, mari sejenak kita dengarkan penuturan seorang ulama yang sezaman dengan beliau, yaitu Syaikh ‘Umar ‘Abdul Jabbar rahimahullah dalam Siyar wa Tarajim hal. 38-39, “…Beliau adalah santri teladan dalam semangat, kesungguhan, dan ketekunan dalam menuntut ilmu serta bermudzakarah malam dan siang dalam pelbagai disiplin ilmu. Karena semangat dan ketekunannya dalam muthala’ah dalam ilmu pasti seperti mathematic (ilmu hitung), aljabar, perbandingan, tehnik (handasah), haiat, pembagian waris, ilmu miqat, dan zij, beliau dapat menulis buku dalam disiplin ilmu-ilmu itu tanpa mempelajarinya dari guru (baca: otodidak).”
Selain mempelajari ilmu Islam, Ahmad juga gemar mempelajari ilmu-ilmu keduniaan yang mendudkung ilmu diennya seperti ilmu pasti untuk membantu menghitung waris dan juga bahasa Inggris sampai betul-betul kokoh. (Bersambung-bagian 2)
Sumber - Muslim.Or.Id'
Posting Komentar