D. Syaikh Ahmad Menikah dan Menjadi Seorang Ayah
Di antara kebiasaan Syaikh Ahmad di Makkah adalah menyeringkan diri
mengunjungi toko buku milik Muhammad Shalih Al Kurdi yang terletak di
dekat Masjid Al Haram untuk membeli kitab-kitab yang dibutuhkan atau
sekedar membaca buku saja jika belum memiliki uang untuk membeli. Karena
seringnya Syaikh Ahmad mengunjungi toko buku itu membuat pemilik toko,
Shalih Al Kurdi, menaruh simpati kepadanya, terutama setelah mengetahui
kerajinan, ketekunan, kepandaian dan penguasaannya terhadap ilmu agama
serta keshalihannya.
Ketertarikan Shalih Al Kurdi terhadap Syaikh Ahmad dibuktikan dengan
dijadikannya Syaikh Ahmad sebagai menantu. Ya. Setelah banyak mengetahui
tentang prihal dan kepribadian Syaikh Ahmad yang mulia itu, Shalih Al
Kurdi pun menikahkannya dengan putrid pertamanya yang kata Hamka dalam
Tafsir Al Azhar bernama Khadijah. Sebenarnya Syaikh Ahmad sempat ragu
menerima tawaran dari Al Kurdi karena tidak adanya biaya yang mencukupi
dan telah mengatakan terus terang, akan tetapi justru tidak sedikit pun
mengurangi niat besar dari Al Kurdi untuk menjaqdikannya menantu. Bahkan
Al Kurdi berjanji menanggung semua biaya pernikahan termasuk mahar dan
kebutuhan hidup keluarga Syaikh Ahmad. Masya Allah. Jika karena bukan kepribadian Syaikh Ahmad yang mulia dan keilmuannya, mungkin hal semacam ini tidak akan pernah terjadi.
Tentang pengambilan Syaikh Ahmad sebagai menantu Shalih Al Kurdi,
Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya terheran kepada Shalih, “Aku dengar Anda
telah menikahkan putrid Anda dengan lelaki Jawi yang tidak pandai
berbahasa ‘Arab kecuai setelah belajar di Makkah?” “Akan tetapi ia
adalah lelaki shalih dan bertaqwa,” jawab Shalih seketika, “Padahal
Rasulullah shallallahu ‘alai wa sallam bersabda, ‘Jika dating kepada kalian seseorang yang agama dan amanahnya telah kalian ridhai, maka nikahkanlah ia.’
Dari pernikahannya dengan Khadijah itu, Syaikh Ahmad dikaruniai seorang putra, yaitu ‘Abdul Karim (1300-1357 H). Ternyata pernikahan Syaikh Ahmad dengan Khadijah tidak berlangsung lama karena Khadijah meninggal dunia.
Shalih Al Kurdi, sang mertua, untuk menikah kembali dengan putrinya
yang lain, yaitu adik kandung Khadijah yang bernama Fathimah. Fathimah
adalah seorang seorang wanita
teladan dalam keshalihan dan memiliki hafalan Al Quran yang baik. Oleh
karena itu tidak heran jika anak-anaknya kelak menjadi orang-orang yang
memiliki kedudukan tinggi di Timur Tengah, yaitu:
- ‘Abdul Malik. Ketua redaksi koran Al Qiblah dan memiliki kedudukan tinggi di Al Hasyimiyyah (Yordan). Belajar kepada sang sang ayah lalu mempelajari adab dan politik.
- ‘Abdul Hamid Al Khathib –seorang ulama ahli adab dan penyair kenamaan yang pernah menjadi staf pengajar di Masjid Al Haram dan duta besar Saudi untuk Pakistan. Di antara karya ilmiahnya adalah Tafsir Al Khathib Al Makki 4 jilid, sebuah nazham (sya’ir) berjudulSirah Sayyid Walad Adam shallallahu ‘alaihi wa sallam, Al Imam Al ‘Adil (sejarah dan biografi untuk Raja ‘Abdul ‘Aziz Alu Su’ud)-
Kesuksesan Syaikh Ahmad dalam mendidik anak-anaknya sehingga menjadi
tokoh-tokoh berhasil bukanlah omong kosong belaka. Keberhasilan itu
berawal dari sistem pendidikan yang mengacu kepada nilai-nilai ajaran
Islam yang mulia terutama masalah ‘aqidah. Mari sejenak kita dengar
langsung penuturan ‘Abdul Hamid Al Khathib tentang bagaimana Syaikh
Ahmad menanamkan ‘aqidah pada anak-anaknya, “Ketika kecilku dulu, jika
aku meminta sesuatu dari ayahku, beliau akan berkata,’Mintalah kepada
Allah, pasti Dia akan memberimu (apa yang kamu minta).’ Aku pun balik
bertanya, ‘Memangnya Allah di mana, yah?’ ‘Dia berada di langit sana,’
jawab ayahku,’Dia dapat melihatmu, sedangkan kamu tidak melihat-Nya.’
Tidak selang berapa lama, ayahku pun mendatangiku dengan membawa apa
yang kuminta seraya berkata, ‘Ni, Allah telah mengirim kepadamu apa yang
tadi kamu minta .’
Dulu juga jika aku meminta sesuatu kepada Allah dan tidak aku
dapatkan, maka aku pun segera mengadu kepada ayahku, ‘Sesungguhnya aku
telah meminta ini dan itu kepada Allah, tapi kok Allah tidak memberiku,
yah?’ Ayah pun segera menjawab, ‘Ini tidak mungkin terjadi kecuali juka
kamu sendiri yang bikin Allah murka. Ya mungkin kamu sudah berlaku
sembrono dalam ibadahmu, atau kamu terlambat shalat, atau mungkin kamu
sudah menggunjing seseorang? Maka bertaubatlah dan minta ampunlah kepada
Allah, pasti Dia akan memberikan semua permintaanmu.’ Aku pun segera
menlakukan wasiat ayahku, maka semua keinginanku pun dapat terwujud.”
Lihatlah, bagaimana pendidikan aqidah yang diberikan Syaikh Ahmad kepada anaknya ini. Pendidikan mana lagi yang lebih mulia dari penanaman ‘aqidah
yang kuat pada diri seorang anak. Bukankah melukis di batu itu sulit
namun hasilnya akan lebih kekal? Demikian juga dengan diri seorang anak.
Seorang anak kecil itu bagaikan gelas kaca yang masih kosong. Ia
tergantung dengan siapa yang pertama kali mengisinya. Pendidikan yang
seperti inilah yang akan menanamkan rasa cinta yang tinggi kepada Allah,
bersandar hanya kepada kepada-Nya, meminta hanya kepada-Nya semata
bahkan hal-hal yang kecil sekalipun. Inilah pendidikan tauhid
yang pernah dipraktekkan Rasulullah kepada keponakannya, Ibnu ‘Abbas,
yang ketika itu usianya masih kanak-kanak, “Jika kamu meminta
pertolongan, mintalah (pertolongan) kepada Allah.”
Potret lain dari pendidikan yang diberikan Syaikh Ahmad kepada
keluarganya adalah beliau selalu menegur dan memperingati bagi siapa
saja yang menyia-nyiakan waktunya dengan bermain-main dan berbagai hal
yang dapat melalaikan termasuk alat-alat music dan nyanyian. Semua ini
dilakukan Syaikh Ahmad karena bentuk rasa sayangnya terhadap
keluarganya. Karena melarang tidak selamanya bermakna benci. Tidak
seperti anggapan sementara sebagian orang dalam mengekspresikan rasa
cintanya kepada keluarganya. Mereka kira dengan membiarkan semua
gerak-gerik dan tingkah laku keluarganya itulah yang disebut cinta.
Padahal boleh jadi prilaku-prilaku itu mengundang murka Allah ‘Azza wa Jalla. Akan
tetapi berbeda dengan Syaikh Ahmad, ia menyadari bahwa seorang ayah
kelak akan dimintai pertanggungjawaban di depan pengadilan Rabbul
‘alamin. Maka dengan segenap kemampuannya, Syaikh Ahmad menganjurkan
kepada semua keluarganya untuk menjauhi semua hal-hal yang tidak
bermanfaat dan mencukupkan diri dengan sesuatu yang bermanfaat saja.
Tidakkah Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri
dan keluarga kalian dari neraka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
pernah bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas tanggungannya.” Sampai sabda beliau, “Dan
laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya, maka ia akan dimintai
pertanggungjawaban terhadapnya.”
E. Karir Syaikh Ahmad di Makkah
Kealiman Syaikh Ahmad dibuktikan dengan dilangkatnya beliau menjadi
imam dan khathib sekaligus staf pengajar di Masjid Al Haram. Jabatan
sebagai imam dan khathib bukanlah jabatan yang mudah diperoleh. Jabatan
ini hanya diperuntukkan orang-orang yang memiliki keilmuan yang tinggi.
Mengenai sebab pengangkatan Syaikh Ahmad Al Khathib menjadi imam dan
khathib, ada dua riwayat yang nampaknya saling bertentangan. Riwayat
pertama dibawakan oleh ‘Umar ‘Abdul Jabbar dalam kamus tarajimnya, Siyar wa Tarajim (hal.
39). ‘Umar ‘Abdul Jabbar mencatat bahwa jabatan imam dan khathib itu
diperoleh Syaikh Ahmad berkat permintaan Shalih Al Kurdi, sang mertua,
kepada Syarif ‘Aunur Rafiq agar berkenan mengangkat Syaikh Ahmad menjadi
imam & khathib. Sedangkan riwayat kedua dibawakan oleh Hamka rahimahullah dalam Ayahku, Riwayat Hidup Dr. ‘Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatera yang kemudian dinukil oleh Dr. Akhria Nazwar dan Dadang A. Dahlan. Ustadz
Hamka menyebutkan cerita ‘Abdul Hamid bin Ahmad Al Khathib, suatu
ketika dalam sebuah shalat berjama’ah yang diimami langsung Syarif
‘Aunur Rafiq. Di tengah shalat, ternyata ada bacaan imam yang salah,
mengetahui itu Syaikh Ahmad pun, yang ketika itu juga menjadi makmum,
dengan beraninya membetulkan bacaan imam. Setelah usai shalat,
Syarif ‘Aunur Rafiq bertanya siapa gerangan yang telah membenarkan
bacaannya tadi. Lalu ditunjukkannya Syaikh Ahmad yang tak lain adalah
menantu sahabat karibnya, Shalih Al Kurdi, yang terkenal dengan
keshalihan dan kecerdasannya itu. Akhirnya Syarif ‘Aunur Rafiq
mengangkat Syaikh Ahmad sebagai imam dan khathib Masjid Al Haram untuk madzhab Syafi’i.
Posting Komentar