Go Ihsan - Aku akan pergi berperang, aku punya dua tujuan, membantu
pasukan muslimin memenangkan peperangan atau menemui kesyahidan.
Tapi Abu Abdurrahman, kepada siapa engkau menitipkan aku
beserta bayi dalam kandunganku? Sementara kamu tidak mempunyai sanak keluarga
di kota ini.
Aku titipkan engkau kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan ini aku
tinggalkan 30.000 dinar untukmu, pakailah sebaik-baiknya untuk keperluan anak
kita kelak hingga aku kembali.
Mari kita bayangkan sejenak jika Ummu Rabiah adalah emak-emak
millennial, apa yang akan diperbuat dengan uang 30.000 dinar. Pasti tidak
jauh-jauh dari membeli kebun kurma, kebun anggur, atau membuka peternakan Unta
atau apapun yang bisa menjadi semacam passive income, sehingga tak perlu
berlelah-lelah membanting tulang dan dapat sepenuhnya fokus membesarkan anak
seorang diri.
ilustrasi |
Nyatanya Ummu Rabiah tak seperti itu, dia menginvestasikan
seluruh uang tersebut pada sesuatu yang bahkan warga Madinah pada zaman itu (51
H) menggelengkan kepalanya. Bahkan Ummu Rabiah sendiri tidak berani
menceritakannya kepada sang suami Farrukh sepulang dari peperangan.
Dikisahkan setelah tiga puluh tahun, Farrukh yang kini
berusia enam puluh tahun pun pulang dari peperangan. Ketika rembulan bersinar
terang, dia memasuki gerbang kota Madinah, dia pun menyusuri jalanan kota
Madinah. Kemajuan pembangunan dan perubahan bangunan-bangunan kota Madinah
sedikit membuatnya bingung, terlebih tak ada yang memperhatikan dan
mengenalinya, bagi warga Madinah sudah tak asing lagi melihat mujahidin yang
pulang pergi untuk berjihad.
Untunglah rumahnya tidak berubah, dia mendapati pintu rumahnya
sedikit terbuka. Karena terlalu gembira ia pun masuk tanpa mengetuk pintu dan
mengucap salam. Di dalam rumah, terdapat seorang pemuda yang terkejut melihat
seorang pria tua membawa pedang memanggul tombak memasuki kediamannya di malam
hari.
Perkelahian pun tak terelakkan, keributan itu pun mengundang
kerumunan orang. Tentu mereka ingin membanntu tetangga yang sedang “dibobol”
rumahnya. Pemuda tersebut pun berhasil mengunci Farrukh dan berjanji akan
membawanya ke hadapan hakim.
Aku bukan musuh Allah dan bukan penjahat. Tapi ini rumahku,
milikku, kudapati pintunya terbuka lalu aku masuk.
Ujar Farrukh yang terkejut melihat situasi yang menjadi
runyam, dia pun berteriak kepada orang-orang yang berkerumun di rumahnya.
Wahai saudara-saudara, dengarkan keteranganku. Rumah ini
milikku, kubeli dengan uangku. Wahai kaum, aku adalah Farrukh. Tiadakah seorang
tetangga yang masih mengenali Farrukh yang tiga puluh tahun lalu pergi
berjihad?
Mendengar keributan di rumahnya, Ummu Rabiah terbangun dari
tidurnya lalu menengok dari jendela atas dan melihat suaminya sedang bergulat
dengan darah dagingnya. Lidahnya nyaris kelu, dengan sekuat tenaga dia berseru,
Lepaskan…
Lepaskan dia, Rabiah…
Lepaskan dia, putraku,
Dia adalah ayahmu… dia ayahmu…
Saudara-saudara, tinggalkanlah mereka, semoga Allah
memberkahi kalian,
Lalu dia menghampiri Farrukh,
Tenanglah, Abu Abdurrahman, dia putramu… dia putramu…
Seketika tangis pecah di antara mereka bertiga, mereka saling
berpelukan melepas rindu. Terkhusus Ummu Rabiah yang seringkali mendengar
desas-desus bahwa suaminya telah meninggal di peperangan, dia tak mengira bisa
bertemu suaminya kembali setelah tiga puluh tahun.
Malam itu Farrukh banyak bercerita kepada istrinya, mengenai
pengalamannya di medan perang, mengenai tersebarnya desas-desus kematian
dirinya. Namun Ummu Rabiah tak bisa menikmati cerita suaminya, pikirannya
dipenuhi kekhawatiran tentang 30.000 dinar.
Seluruh penduduk Madinah tahu bahwa Ummu Rabiah sangat loyal
ketika membayar guru-guru putranya. Dia benar-benar mensyukuri nikmat
kecerdasan yang dianugerahkan Allah kepada putranya, dia senantiasa mendukung
sepenuh hati minat putranya pada berbagai disiplin ilmu. Dia tak pernah
berpikir dua kali untuk mengirim putranya kepada guru-guru terbaik, berapapun
biayanya. Kini setelah tiga puluh tahun uang pemberian suaminya tak bersisa
sepeser pun, bagaimana dia harus menjelaskan sesuatu yang hasilnya tidak kasat
mata.
Lamunannya buyar ketika suaminya berseru dengan penuh
semangat,
Aku membawa uang 4.000 dinar. Ambillah uang yang aku titipkan
kepadamu dahulu. Kita kumpulkan lalu kita belikan kebun atau rumah, kita bisa
hidup dari hasil sewanya selama sisa umur kita.
Ummu Rabiah pura-pura menyibukkan diri dengan pekerjaan dan
tidak menanggapi, Farrukh pun mengulangi ucapannya,
Cepatlah, mana uang itu? Bawa kemari, kita satukan dengan
uang yang kubawa.
Dia menjawab lirih,
Aku letakkan uang tersebut di tempat yang semestinya dan akan
kuambil beberapa hari lagi insya Allah…
Suara adzan shubuh memotong perbincangan mereka. Farrukh pun
bersiap, hari ini untuk pertama kalinya dia akan mengajak putranya ke masjid.
Dalam konsep parenting Islami, berangkat bersama ke masjid dinilai menjadi
momen yang peling merekatkan hubungan seorang ayah dengan putranya.
Di mana Rabiah?
Dia telah mendahuluimu, dia berangkat ke masjid ketika adzan
pertama, dan sepertinya kamu akan tertinggal jamaah
Benarlah, sesampainya di masjid, Farrukh mendapati imam sudah
menyelesaikan shalatnya. Dia pun segera shalat, kemudian menuju ke makam
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mengucap shalawat atasnya, setelah itu
mengambil tempat di Raudhah Muthahharah. Betapa rindunya Farrukh dengan tempat
itu, dia pun shalat sunnah di situ kemudian berdoa.
Ketika hendak pulang, dia mendapati ruangan masjid telah
penuh dengan orang-orang yang belajar. Mereka duduk melingkari syaikh hingga
tak ada lagi tempat kosong. Karena terlalu padat, Farrukh tak bisa melihat
wajah syaikh tersebut, namun dia bisa mendengar jelas apa yang disampaikan. Dia
kagum dengan segala perkataan syaikh itu, juga pada kedalaman hafalannya,
ketajaman ingatan, dan keluasan ilmunya, juga antusias hadirin yang untuk
mendengarkannya.
Seusai majelis, Farrukh bertanya kepada orang di sampingnya.
Siapakah syaikh yang baru saja berceramah?
Orang tersebut terkejut mendengar pertanyaan Farrukh.
Apakah anda bukan orang Madinah?!
Saya penduduk Madinah.
Bagaimana mungkin ada orang Madinah yang tidak mengenal
syaikh yang memberikan ceramah tadi?
Maaf saya sudah tiga puluh tahun meninggalkan kota ini dan
baru kembali malam tadi.
Baiklah, tidak mengapa, akan saya jelaskan. Syaikh yang kita
dengar ceramahnya tadi adalah adalah seorang tokoh ulama tabi’in, termasuk di
antara ulama yang terpandang, dialah ahli hadis di Madinah, fuqaha, dan imam
kami meski usianya masih sangat muda. Tidak tanggung-tanggung, majelisnya
dihadiri oleh Malik bin Anas, Abu Hanifah an-Nu’man, Yahya bin Sa’id
al-Anshari, Sufyan ats-Tsauri, Abdurrahman bin Amru al-Auza’i, Laits bin Sa’id
dan yang lainnya.
Tetapi anda belum menyebutkan namanya kepada saya.
Namanya Rabiah, dia digelari ar-Ra’yi karena pendapatnya
selalu bijak dan menentramkan hati. Dia dilahirkan tidak lama setelah ayahnya
pergi berjihad, namun tadi sebelum shalat saya mendengar kabar bahwa tadi malam
ayahnya telah kembali.
Farrukh tak kuasa membendung air matanya, dia segera berlari
menuju rumahnya, banyak rasa yang tersirat dalam setiap tetes air matanya,
haru, gembira, bangga, dan terpenting adalah syukur, dia bersyukur bahwa
pilihannya untuk menitipkan keluarganya kepada Allah dan Rasul-Nya bukanlah
pilihan yang salah.
Sementara di rumah, Ummu Rabiah masih cemas memikirkan
jawaban untuk suaminya.
Referensi: Shuwar min Hayati at-Tabiin karya Dr. Abdurrahman
Ra’fat Basya
Penulis: Rusydan Abdul Hadi (Kiblat)
Posting Komentar