Go Ihsan - Zuhud adalah salah satu akhlak utama seorang muslim.
Terutama saat di hadapannya terbentang lebar kesempatan untuk meraih dunia
dengan segala macam perbendaharaannnya. Apakah itu kekuasaan, harta, kedudukan,
dan segala fasilitas lainnya. Karenanya, zuhud adalah karakteristik dasar yang
membedakan antara seorang mukmin sejati dengan mukmin awam. Jika tidak memiliki
keistimewaan dengan karakteristik ini, seorang mukmin tidak dapat dibedakan
lagi dari manusia kebanyakan yang terkena fitnah dunia.
Bersambung
Apalagi seorang dai. Jika orang banyak mengatakan dia ”sama
saja”, tentu nilai-nilai yang didakwahinya tidak akan membekas ke dalam hati
orang-orang yang didakwahinya. Dakwahnya layu sebelum berkembang. Karena itu,
setiap mukmin, terutama para dai, harus menjadikan zuhud sebagai perhiasan jati
dirinya. Rasulullah saw. bersabda,”Zuhudlah terhadap apa yang ada di dunia,
maka Allah akan mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap apa yang ada di sisi
manusia, maka manusia pun akan mencintaimu” (HR Ibnu Majah, tabrani,
Ibnu Hibban dan Al-Hakim)
Makna dan Hakikat Zuhud
Makna dan hakikat zuhud banyak diungkap Al-Qur’an, hadits,
dan para ulama. Misalnya surat Al-Hadiid ayat 20-23 berikut ini.
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya
kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan
bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan
anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian
tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi
hancur. Dan di
akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya.
Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang
luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman
kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia
Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai
karunia yang besar. Tiada suatu bencanapun yang
menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis
dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang
demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian
itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan
supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.
Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Ayat di atas tidak menyebutkan kata zuhud, tetapi
mengungkapkan tentang makna dan hakikat zuhud. Ayat ini menerangkan tentang
hakikat dunia yang sementara dan hakikat akhirat yang kekal. Kemudian
menganjurkan orang-orang beriman untuk berlomba meraih ampunan dari Allah dan surga-Nya di
akhirat.
Selanjutnya Allah menyebutkan tentang musibah yang menimpa
manusia adalah ketetapan Allah dan bagaimana orang-orang beriman harus
menyikapi musibah tersebut. Sikap yang benar adalah agar tidak mudah berduka
terhadap musibah dan apa saja yang luput dari jangkauan tangan. Selain itu,
orang yang beriman juga tidak terlalu gembira sehingga hilang kesadaran
terhadap apa yang didapatkan. Begitulah metodologi Al-Qur’an ketika berbicara
tentang nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang mengarahkan manusia untuk bersikap
zuhud.
Dari ayat itu juga, kita mendapat pelajaran bahwa akhlak
zuhud tidak mungkin diraih kecuali dengan mengetahui hakikat dunia –yang
bersifat sementara, cepat berubah, rendah, hina dan bahayanya ketika manusia
mencintanya– dan hakikat akhirat –yang bersifat kekal, baik kenikmatannya maupun
penderitaannya.
Demikian juga ketika Rasulullah saw., ingin membawa para
sahabatnya pada sikap zuhud, beliau memberikan panduan bagaimana seharusnya
orang-orang beriman menyikapi kehidupannya di dunia. Rasulullah bersabda,
”Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau musafir.”(HR Bukhari). Selanjutnya
Rasulullah mencontohkan langsung kepada para sahabat dan umatnya bagaimana
hidup di dunia. Beliau adalah orang yang paling rajin bekerja dan beramal
shalih, paling semangat dalam ibadah, paling gigih dalam berjihad. Tetapi pada
saat yang sama beliau tidak mengambil hasil dari semua jerih payahnya di dunia
berupa harta dan kenikmatan dunia. Kehidupan Rasulullah saw. sangat sederhana
dan bersahaja. Beliau lebih mementingkan kebahagiaan hidup di akhirat dan
keridhaan Allah swt. Ibnu Mas’ud ra. melihat Rasulullah saw. tidur di atas kain
tikar yang lusuh sehingga membekas di pipinya, kemudian berkata, ”Wahai
Rasulullah saw., bagaimana kalau saya ambilkan untukmu kasur?” Maka Rasulullah
saw. menjawab, ”Untuk apa dunia itu! Hubungan saya dengan dunia seperti
pengendara yang mampir sejenak di bawah pohon, kemudian pergi dan
meninggalkannya.” (HR At-Tirmidzi)
Para ulama memperjelas makna dan hakikat zuhud. Secara
syar’i, zuhud bermakna mengambil sesuatu yang halal hanya sebatas keperluan.
Abu Idris Al-Khaulani berkata, ”Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang
halal dan membuang semua harta. Akan tetapi zuhud terhadap dunia adalah lebih
menyakini apa yang ada di sisi Allah ketimbang apa yang ada di tangan kita. Dan
jika kita ditimpa musibah, maka kita sangat berharap untuk mendapatkan pahala.
Bahkan ketika musibah itu masih bersama kita, kita pun berharap bisa menambah
dan menyimpan pahalanya.” Ibnu Khafif berkata, ”Zuhud adalah menghindari dunia
tanpa terpaksa.” Ibnu Taimiyah berkata, ”Zuhud adalah meninggalkan apa yang
tidak bermanfaat di akhirat nanti, sedangkan wara’ adalah meninggalkan sesuatu
yang ditakuti bahayanya di akhirat nanti.”
Keutamaan Zuhud terhadap Dunia
Zuhud merupakan sifat mulia orang beriman karena tidak
tertipu oleh dunia dengan segala kelezatannya baik harta, wanita, maupun tahta.
Zuhud bukan berarti meninggalkan dunia. Tapi, orang beriman beramal shalih di
dunia, memakmurkan bumi, dan berbuat untuk kemaslahatan manusia, kemudian mereka
meraih hasilnya di dunia berupa fasilitas dan kenikmatan yang halal di dunia.
Pada saat yang sama, hati mereka tidak tertipu pada dunia. Mereka meyakini
betul bahwa dunia itu tidak kekal dan akhiratlah yang lebih baik dan lebih
kekal. Sehingga, orang-orang beriman beramal di dunia dengan segala kesungguhan
bukan hanya untuk mendapatkan kenikmatan sesaat di dunia, tetapi untuk meraih
ridha Allah dan surga-Nya di akhirat.
Berikut ini ayat-ayat Al-Qur’an dan beberapa Hadits yang
menerangkan keutamaan zuhud terhadap dunia:
Dijadikan indah pada (pandangan)
manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita,
anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan
di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Katakanlah: “Inginkah
aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?” Untuk
orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka
dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah; dan Allah Maha
Melihat akan hamba-hamba-Nya. (Ali Imran:
14-15).
Dan berilah perumpamaan kepada mereka
(manusia), kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari
langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian
tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan
kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik
pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (Al-Kahfi:
45-46)
Dan tiadalah kehidupan dunia ini
melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang
sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui. (Al-Ankabut:
64).
Rasulullah saw. bersabda, “Demi Allah, bukanlah kefakiran
yang aku takuti atas kalian, tetapi aku takut pada kalian dibukakannya dunia
bagi kalian sebagaimana telah dibuka bagi umat sebelum kalian. Kemudian kalian
berlomba-lomba sebagaimana mereka berlomba-lomba, dan menghancurkan kalian
sebagaimana telah menghancurkan mereka.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Bersambung
Posting Komentar