Go Ihsan - Zuhud adalah salah satu akhlak utama seorang muslim, terutama
saat dihadapannya terbentang lebar kesempatan untuk meraih dunia dengan segala
perbendaraannya, apakah itu kekuasaan, harta kedudukan, dan segala fasilitas
lainnya.
Karena itu, zuhud adalah karakteristik dasar yang membedakan
antara seorang mukmin sejati dengan seorang mukmin awam. Jika tidak memiliki
keistimewaan dengan karakteristik ini, seorang mukmin tidak dapat dibedakan
lagi dari manusia kebanyakan yang terkena fitnah dunia.
Apalagi seorang yang menyandang predikat (gelar) da’i. Jika
orang banyak mengatakan dia ‘sama saja’, tentu nilai-nilai yang didakwahinya
tidak akan membekas ke dalam hati orang-orang yang di dakwahinya. Dakwah layu
sebelum berkembang. Karena itu, stiap mukmin , terutama para da’i, harus
menjadikan zuhud sebagai perhiasan jati dirinya.
Para ulama memperjelas makna dan hakikat zuhud. Secara syar’i,
zuhud bermakna adalah mengambil sesuatu yang halal hanya sebatas keperluan. Abu
Idris al-Khaulani bekata, “Zuhud terhadap dunia bukanlah mengharamkan yang
halal dan membuang semua harta. Akan tetapi, zuhud terhadap dunia adalah lebih
meyakini apa yang ada di sisi Allah ketimbang apa yang ada di tangan kita. Ibnu
Khafif berkata, “Zuhud adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat di akhirat
nanti, sedangkan wara’ adalah meninggalkan sesuatu yang ditakuti bahayanya di
akhirat nanti”.
Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam bersabda, “Zuhudlah
terhadap apa yang di dunia, maka Allah akan mencintaimu. Dan zuhudlah terhadap
apa yang ada di sisi manusia, maka manusia pun akan mencintaimu. (HR.Ibnu
Majah, Tabrani, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim).
Dalam generasi salaf dan tabi’in ada mutiara-mutiara yang indah
dan cemerlang, yang menghiasi peradaban Islam, bukan peradaban materialisme.
Betapapun mereka orang-orang yang memiliki kesempatan mereguknya. Tetapi, tak
juga melakukan untuk mereguk kenikmatan itu.
Seperti kisah, Muhammad bin Waasi’ Al-Azdi, yang mendapatkan
julukan guru orang-orang zuhud di zamannya. Ia hidup dizamannya Khalifah
Sulaiman bin Abdul Malik. Saat itu di mana Yazid bin Muhallab bin Abi Sufrah,
salah satu pedang Islam yang terhunus, dan menjadi wali di Khurasan yang kuat,
bergerak dengan sangat bersama dengan pasukannya yang berjumlah seratus
ribuorang, ditambah lagi dengan para sukarelawan dari mereka yang ingin
mencaria syahadah dan mencari pahala.
Pasukan Islam yang dipimpin Yazid bin Muhallab ingin menaklukkan
daerah Jurjan dan Thabaristan. Di barisan depan ada generasi tabi’in utama,
bernama Muhammad bin Waasi’ dari Basrah yang dikenal dengan ‘Zainul Fuqaha’
(hiasan para ahli fikih), dan sering dipanggil Abid Basrah dan merupakan murid
dari shahabat Anas bin Malik al-Anshari, pembantu Rasululah Shallahu Alaihi Wa
Sallam.
Meski tubuhnya nampak kurus dan usianya yang sudah lanjut,
Muhammad bin Waasi’, memegang posisi yang cukup penting dalam pasukan Islam.
Pasukan Islam merasa terhibur dengan cahaya iman yang terpancar dari wajahnya
yang cerah, dan makin bersemangat bila mendengar nasihat-nasihat yang keluar
dari lidahnya yang lembut dan menjadi tenang karena do’anya yang mustajab bila
mendapati kesulitan. Bila panglima perang menyeru, maka Muhammad Waasi’ menyeru,
“Wahai pasukan Allah, menjulah!”, sebanyak tiga kali. Begitu mendengar
suaranya, segenap prajurit pasukan Islam itu siap berperang menghadap musuh
dengan penuh keberanian.
Ketika berlangsung peperangan yang amat dahsyat, terdapat
seorang prajurit musuh, yang sangat tinggi dan kekar. Perang tanding satu lawan
satu, antara pasukan Islam dengan pasukan musyrikin. Diantara pasukan musuh
memiliki prajurit berbadan tinggi besar dan kekar, dan menantang Muhammad
Waasi’ untuk berperang dengannya.
Keduanya berperang seperti seekor singa yang kalap. Yazid bin
Muhallab, merasa sangat kagum melihat pertempuran yang dahsyat itu. Kilatan
pedang dan senjata, yang bertubi-tubi. Muhallab bertanya, “Alangkah hebatnya.
Siapakah dia?”. Orang-orang menjawabnya, “Dia adalah orang yang mendapat berkat
doa dari Muhammad bin Waasi’”, ucap mereka.
Pertempuran yang sangat dahsyat itu disudahi dengan kemenangan
pasukan Islam yang dipimpin oleh Yazid bin Muhallab. Kemudian, raja kaum
musyrikin itu, menawarkan perdamaian kepada kaum muslmin, dan akan menyerahkan
seluruh kekayaan negerinya asalkabn keluarga dan hartanya aman. Tawaran itu
disetujui Yazid. Mereka harus membayar sebesar 700.000 dirham, menyerahkan 400
ekor unta bermuatan za’faran (kunyit), dan 400 orang yang setiap orangnya
membawa satu gelak perak, memakai topi dari sutera dan beludru dan megnenakan
mantel seperti yang dikenakan isteri-isteri prajurit mereka.
Perangpun usai, Yazid bin Muhallab berkata kepada bendaharanya,
“Sisihkan sebagian ghanimah itu untuk kita. Berikan sebagai imbalan jasa kepada
yang berhak”, tukasnya. Diantara ghanimah itu ditemukan pula oleh kaum muslimin
sebuah mahkota terbuat dari emas murni bertatahkan intan permata beraneka warna
dalam ukiran yang indah dipandang mata. Lalu, Yazid mengacungkan tinggi-tinggi,
agar semua dapat melihat mahkota itu. Yazid berkata, Adakah kalian melihat
orang yang tak menginginkan benda ini?, tanyanya. Mereka berkata, “Semoga Allah
memperbagus keadaan Amir, siapa pula ylang akan menolak barang itu?”,
tambahnya.
Yazid menukas, “Kalian akan melihat bahwa ada diantara umat
Muhammad Shallahu Alaihi Wa Sallam, senantiasa tidak menginginkan harta ini
ataupun yang semacam dengan ini yang ada diatas bumi”, cetusnya. Kemudian Yazid
memanggilnya pembantunya, “Carilah Muhammad bin Waasi’”. Lelaki tua itu
ditemukan oleh pembantunya Yazid, dan ia dalam keadaan sedang berzikir,
beristighfar, bersyukur dan berdo’a. “Amir Yazid memanggil anda sekarang juga”,
ujar utusan itu. Maka, beliau berdiri dan berjalan mengikuti utusan Yazid.
kemudian pemimpin pasukan Islam, Yazid bin Muhallab bertemu
dengan Muhammad bin Waasi’ berkata, “Wahai Abu Abdillah, pasukan muslimin telah
menemukan mahkota yang sangat berharga ini. Aku melihat andalah yang layak
untuk menerimanya, sehingga kujadikan mahkota ini sebagai bagianmu, dan
orang-orang telah setuju”. Muhammad, “Anda menjadikan ini sebagai bagianku
wahai Amir?”, tanyanya. Yazid, “Benar. Ini bagianmu”, tambahnya. Muhammad, “Aku
tidak memerlukannya. Semoga Allah membalas kebaikan anda dan mereka”, tegas
Muhammad. Yazid, “Aku telah bersumpah bahwa engkaulah yang harus mengambil
ini”.
Dengan terpaksa Muhammad bin Waasi’ menerimanya dikarenakan
sumpah amirnya. Setelah itu Muhammad berpamitan kepada Yazid dan
meninggalkannya. Orang-orang yang tak mengenalnya berkata sinis, “Nyatanya dia
bawa juga harta itu”.
Sementara itu Yazid memerintahkan prajuritnya menguntit sheikh itu dengan diam-diam, apa yang hendak dilakukannya terhadap benda yang sangat berharga itu.
Sementara itu Yazid memerintahkan prajuritnya menguntit sheikh itu dengan diam-diam, apa yang hendak dilakukannya terhadap benda yang sangat berharga itu.
Muhammad bin Waasi’ berjalan dengan menentang harta berharga
ditangannya. Di tengah jalan beliau berjumpa dengan orang asing, yang kusut
masai dan pakaiannya compang-camping meminta-minta kalau-kalau ada bantuan dari
harta Allah Rabbul Alamin. Sheikh itu segera menoleh ke kanan dan ke kiri dan
ke belakang … dan setelah yakin tidak ada yang melihat, diberikannya mahkota
itu kepada orang yang miskin itu. Orang miskin pergi dengan suka-cita, seakan
beban yang dipikulnya telah diangkat dari punggungnya.
Tanpa disadari seorang prajurit memegang tangan orang miskin
itu, dan mengajaknya menghadap amir untuk menceritakan kejadiannya. Mahkota itu
diambil lagi oleh amir, dan diganti dengan harta sebanyak yang dimintanya.
Yazid berkata pasukannya, “Bukankah telah aku katakan kepada kalian bahwa
diantara umat Muhammad senantiasa ada orang-orang yang tidak membutuhkan
mahkota ini atau yang semisalnya”, ujar Yazid.
Sebuah kazanah dalam sejarah Islam, yang sangat berharga bagi
kehidupan kaum muslimin, dan sekaligus tadzkiroh yang tak akan habis-habis.(Era)
Posting Komentar