Untuk misi penginjilan, Pendeta Muhammad Bambang SE STh menempuh cara yang tidak fair, menghujat syariat Islam. Dalam buku penginjilan “Mengapa Saya Menjadi Orang Kristen (Islam Menjadi Kristen)” yang diterbitkan Yayasan Penginjilan Martua Agape Nias, pendeta yang mengaku bekas ustadz kelahiran Bojonegoro tahun 1964 ini menyebut syariat Islam sebagai intoleransi, keras, kejam, tidak adil dan tak mengenal kasih. Beberapa syariat yang jadi sasaran, di antaranya adalah hukum rajam dan waris:
“Hukum/Syariat Islam (Pidana + Perdata) tidak berlandaskan KASIH, melainkan berdasarkan intoleransi, keras/kejam dan tidak adil, yang sebagai buktinya kami sitir antara lain: Dera dengan 100x pukulan rotan atau pentungan bagi mereka yang ketangkap basah berzina (Qs. An-Nur 2). (hlm 38).
Dengan menyimak hujatan tersebut, patutlah diragukan pengakuan Pendeta Muhammad Bambang sebagai seorang mantan ustadz. Tudingannya sangat semberono, jauh dari pengertian dan hikmah syariat yang mahaluas.
Memang sanksi (‘uqubah) dalam syariat Islam sudah jadi langganan para misionaris untuk melakukan pendangkalan akidah. Mereka melebih-lebihkan mirisnya sanksi dalam pidana Islam, seraya menutupi prinsip dan hikmah yang ada.
Pada dasarnya, semua jenis sanksi hukum itu dijatuhkan di Akhirat, tapi sebagian disegerakan di dunia untuk menjaga ketertiban dan ketenteraman hidup bermasyarakat. Karena Allah SWT menurunkan agama untuk menjaga lima hal pokok (ad-dharuratul-khams), yaitu menjaga kebebasan beragama (hifzhud-din), menjaga kesucian hidup (hifzhun-nafs), menjaga kepemilikan harta benda (hifzhul-maal), menjaga keturunan (hifzhun-nasal), dan menjaga kebebasan berpikir (hifzhul ‘aql).
Lima hal tersebut adalah kebutuhan yang dharuri dan sangat menentukan eksistensi hidup dan kehidupan manusia. Untuk itulah Allah menetapkan sanksi hukum di dunia. Di mata hukum Islam, semua orang dipandang sama tanpa ada diskriminasi hukum berdasarkan status sosial, ekonomi dan politik, atau alasan lainnya.
Sangat tidak benar tuduhan pendeta bahwa Islam menghukum pezina dengan pukulan pentungan 100 kali. Penggambaran yang miris ini sengaja dilakukan pendeta untuk melakukan mendoktrin jemaatnya, bahwa Islam itu kejam dan sadis. Padahal ketentuan Syariat Islam dalam tindak pidana perzinaan tidaklah sesemberono dan sekejam itu. Al-Qur'an yang dituding sadis itu adalah sbb:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman” (Qs An-Nur 2).
Hukuman terhadap pelaku perzinaan memang sangat keras, karena zina tak hanya dosa besar, tapi juga perbuatan keji (fahisyah) dan seburuk-buruk kelakuan (saa’a sabiilan). (Qs Al-Isra 32).
Betapa banyaknya penyakit menular akibat zina yang belum ditemukan penyembuhannya seperti HIV AIDS. Betapa banyak rumah tangga hancur berantakan gara-gara kasus zina dan perselingkuhan? Betapa banyak generasi yang rusak masa depannya karena perzinaan orang tuanya?
Bila pelakunya seorang gadis atau bujangan yang belum pernah menikah, maka hukumannya adalah dera seratus kali, sesuai dengan ayat tersebut.
Tapi bila pelakunya adalah pria atau wanita yang pernah menikah (muhshan/muhshanat), walaupun ia berstatus duda atau janda, maka berdasarkan hadits-hadits yang shahih, hukumannya naik menjadi rajam.
Apabila tindak perzinaan itu terbukti sah dan meyakinkan secara hukum, maka sanksi harus dilakukan tanpa belas kasihan: “…Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat…” (Qs An-Nur 2).
Dalam pelaksanaannya, agar sanksi perzinaan ini menimbulkan efek jera dan dampak sosiologis kepada masyarakat agar mereka membenci, menjauhi dan takut melakukan perzinaan, maka eksekusinya harus dilakukan di hadapan khalayak kaum mukminin:
“…Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman” (Qs An-Nur 2).
Karena sanksi perzinaan itu sangat berat baik fisik maupun mental, maka persyaratan pelaksanaan hukumannya juga sangat berat dan ketat, yaitu benar-benar terbukti dengan dua pembuktian: 1) Pengakuan langsung dari pelakunya, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. 2) Kesaksian dari empat orang saksi mata yang Muslim, berakal, baligh dan adil.
Karena sanksi perzinaan itu sangat berat, maka aturan bagi orang yang menuduh perzinaan pun ketat. Bagi orang yang menuduh perzinaan tapi tidak terbukti di pengadilan, maka dia dihukumi sebagai fasik yang dijatuhi sanksi dera 80 kali (Qs An-Nur 4). Subhanallah!! Bagi orang berakal, betapa adil dan indah syariat Islam.
KEKEJAMAN DAN KASIH YANG KELIRU DALAM SYARIAT BIBEL
“...Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat...”
Penggalan ayat Al-Qur'an surat An-Nur ayat 2 tersebut diperalat Pendeta Muhammad Bambang untuk menuding Islam sebagai agama yang tak mengenal belas kasihan:
“Tegasnya Hukum dan Syariat Islam itu bertentangan secara diametral dan antagonis dengan Hukum Kasih yang diajarkan oleh Yesus dalam Matius 22:39 yang berbunyi: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (hlm 39).
Padahal dalam ayat tersebut Allah melarang agar jangan meninggalkan perintah-Nya hanya demi rasa kasihan terhadap pelaku perzinaan. Tak boleh ada dispensasi hukuman atas alasan kasihan, simpati atau perasaan lainnya. Perasaan hati tak boleh mengalahkan hukum Allah.
Aneh memang, hanya dengan adanya ayat “janganlah belas kasihan kepada keduanya (kedua pezina, pen.),” Pendeta Bambang menuding Islam bukan agama kasih. Padahal dalam Bibel, Tuhan memerintahkan balas dendam dengan perintah membunuh dan menumpas secara sadis terhadap semua manusia dan binatang ternak tanpa belas kasihan sedikitpun:
“Beginilah firman Tuhan semesta alam: Aku akan membalas apa yang dilakukan orang Amalek kepada orang Israel, karena orang Amalek menghalang-halangi mereka, ketika orang Israel pergi dari Mesir. Jadi pergilah sekarang, kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada padanya, dan janganlah ada belas kasihan kepadanya. Bunuhlah semuanya, laki-laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun anak-anak yang menyusu, lembu maupun domba, unta maupun keledai”(1 Samuel 15:2-3, selengkapnya baca sampai ayat 9).
Jika Pendeta Bambang ingin menerapkan Hukum Kasih sesuai dengan ayat-ayat Bibel, maka dia akan mengalami kemusykilan. Karena dalam Bibel Yesus menerapkan hukum kasih dengan membebaskan wanita Yahudi yang tertangkap basah berzina, dari jeratan hukuman apapun termasuk rajam (Yohanes 8:1-11).
Penghakiman Yesus dalam ayat ini bertolak belakang dengan berbagai sabdanya dalam Injil, bahwa mata yang berbuat maksiat harus dicungkil dan dibuang.
“Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan bermata satu dari pada dicampakkan ke dalam api neraka dengan bermata dua” (Matius 18:9, Matius 5:29).
Selain itu, dengan membebaskan perempuan yang tertangkap basah melakukan zina (skandal seks) dari jeratan hukum, berarti Yesus telah melanggar Hukum Taurat tentang hukum rajam (dilempari batu) sampai mati (Ulangan 22:22-24). Bukankah salah satu misi Yesus bukanlah untuk meniadakan hukum Taurat, melainkan untuk menggenapinya (Matius 5:17)?
Lebih jauh lagi, Pendeta Muhammad Bambang akan menemui banyak kesulitan jika ingin menerapkan Hukum Kasih dalam hal pelacuran. Karena di samping menetapkan hukum yang keras dalam pidana perzinaan, Perjanjian Lama banyak memberikan angin segar bagi perzinaan. Misalnya, Tuhan menyuruh Nabi Hosea untuk bercinta dan menikahi pelacur Gomer.
“Ketika Tuhan pertama kali berbicara kepada bangsa Israel dengan perantaraanku, Tuhan berkata, “Hosea, kawinilah seorang yang suka melacur, dan anak-anakmu juga akan menjadi seperti dia. Umat-Ku sama seperti istrimu itu; mereka tidak setia kepada-Ku, dan meninggalkan Aku” (Hosea 1:2-3, BIS).
Apakah atas dasar ayat ini, Pendeta Bambang ingin mengasihi pezina sehingga memprotes keras ayat Al-Qur'an yang menetapkan sanksi bagi pelaku perzinaan? Akankah Pendeta Bambang bersukacita jika di dunia ini tidak ada hukum yang menjerat para pezina dengan hukuman keras, sehingga perselingkuhan makin merajalela? Itukah makna kasih seorang pendeta bagi para pezina? [A. Ahmad Hizbullah MAG/suaraislam]
Memang sanksi (‘uqubah) dalam syariat Islam sudah jadi langganan para misionaris untuk melakukan pendangkalan akidah. Mereka melebih-lebihkan mirisnya sanksi dalam pidana Islam, seraya menutupi prinsip dan hikmah yang ada.
Pada dasarnya, semua jenis sanksi hukum itu dijatuhkan di Akhirat, tapi sebagian disegerakan di dunia untuk menjaga ketertiban dan ketenteraman hidup bermasyarakat. Karena Allah SWT menurunkan agama untuk menjaga lima hal pokok (ad-dharuratul-khams), yaitu menjaga kebebasan beragama (hifzhud-din), menjaga kesucian hidup (hifzhun-nafs), menjaga kepemilikan harta benda (hifzhul-maal), menjaga keturunan (hifzhun-nasal), dan menjaga kebebasan berpikir (hifzhul ‘aql).
Lima hal tersebut adalah kebutuhan yang dharuri dan sangat menentukan eksistensi hidup dan kehidupan manusia. Untuk itulah Allah menetapkan sanksi hukum di dunia. Di mata hukum Islam, semua orang dipandang sama tanpa ada diskriminasi hukum berdasarkan status sosial, ekonomi dan politik, atau alasan lainnya.
Sangat tidak benar tuduhan pendeta bahwa Islam menghukum pezina dengan pukulan pentungan 100 kali. Penggambaran yang miris ini sengaja dilakukan pendeta untuk melakukan mendoktrin jemaatnya, bahwa Islam itu kejam dan sadis. Padahal ketentuan Syariat Islam dalam tindak pidana perzinaan tidaklah sesemberono dan sekejam itu. Al-Qur'an yang dituding sadis itu adalah sbb:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman” (Qs An-Nur 2).
Hukuman terhadap pelaku perzinaan memang sangat keras, karena zina tak hanya dosa besar, tapi juga perbuatan keji (fahisyah) dan seburuk-buruk kelakuan (saa’a sabiilan). (Qs Al-Isra 32).
Betapa banyaknya penyakit menular akibat zina yang belum ditemukan penyembuhannya seperti HIV AIDS. Betapa banyak rumah tangga hancur berantakan gara-gara kasus zina dan perselingkuhan? Betapa banyak generasi yang rusak masa depannya karena perzinaan orang tuanya?
Bila pelakunya seorang gadis atau bujangan yang belum pernah menikah, maka hukumannya adalah dera seratus kali, sesuai dengan ayat tersebut.
Tapi bila pelakunya adalah pria atau wanita yang pernah menikah (muhshan/muhshanat), walaupun ia berstatus duda atau janda, maka berdasarkan hadits-hadits yang shahih, hukumannya naik menjadi rajam.
Apabila tindak perzinaan itu terbukti sah dan meyakinkan secara hukum, maka sanksi harus dilakukan tanpa belas kasihan: “…Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat…” (Qs An-Nur 2).
Dalam pelaksanaannya, agar sanksi perzinaan ini menimbulkan efek jera dan dampak sosiologis kepada masyarakat agar mereka membenci, menjauhi dan takut melakukan perzinaan, maka eksekusinya harus dilakukan di hadapan khalayak kaum mukminin:
“…Dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman” (Qs An-Nur 2).
Karena sanksi perzinaan itu sangat berat baik fisik maupun mental, maka persyaratan pelaksanaan hukumannya juga sangat berat dan ketat, yaitu benar-benar terbukti dengan dua pembuktian: 1) Pengakuan langsung dari pelakunya, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. 2) Kesaksian dari empat orang saksi mata yang Muslim, berakal, baligh dan adil.
Karena sanksi perzinaan itu sangat berat, maka aturan bagi orang yang menuduh perzinaan pun ketat. Bagi orang yang menuduh perzinaan tapi tidak terbukti di pengadilan, maka dia dihukumi sebagai fasik yang dijatuhi sanksi dera 80 kali (Qs An-Nur 4). Subhanallah!! Bagi orang berakal, betapa adil dan indah syariat Islam.
KEKEJAMAN DAN KASIH YANG KELIRU DALAM SYARIAT BIBEL
“...Dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat...”
Penggalan ayat Al-Qur'an surat An-Nur ayat 2 tersebut diperalat Pendeta Muhammad Bambang untuk menuding Islam sebagai agama yang tak mengenal belas kasihan:
“Tegasnya Hukum dan Syariat Islam itu bertentangan secara diametral dan antagonis dengan Hukum Kasih yang diajarkan oleh Yesus dalam Matius 22:39 yang berbunyi: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (hlm 39).
Padahal dalam ayat tersebut Allah melarang agar jangan meninggalkan perintah-Nya hanya demi rasa kasihan terhadap pelaku perzinaan. Tak boleh ada dispensasi hukuman atas alasan kasihan, simpati atau perasaan lainnya. Perasaan hati tak boleh mengalahkan hukum Allah.
Aneh memang, hanya dengan adanya ayat “janganlah belas kasihan kepada keduanya (kedua pezina, pen.),” Pendeta Bambang menuding Islam bukan agama kasih. Padahal dalam Bibel, Tuhan memerintahkan balas dendam dengan perintah membunuh dan menumpas secara sadis terhadap semua manusia dan binatang ternak tanpa belas kasihan sedikitpun:
“Beginilah firman Tuhan semesta alam: Aku akan membalas apa yang dilakukan orang Amalek kepada orang Israel, karena orang Amalek menghalang-halangi mereka, ketika orang Israel pergi dari Mesir. Jadi pergilah sekarang, kalahkanlah orang Amalek, tumpaslah segala yang ada padanya, dan janganlah ada belas kasihan kepadanya. Bunuhlah semuanya, laki-laki maupun perempuan, kanak-kanak maupun anak-anak yang menyusu, lembu maupun domba, unta maupun keledai”(1 Samuel 15:2-3, selengkapnya baca sampai ayat 9).
Jika Pendeta Bambang ingin menerapkan Hukum Kasih sesuai dengan ayat-ayat Bibel, maka dia akan mengalami kemusykilan. Karena dalam Bibel Yesus menerapkan hukum kasih dengan membebaskan wanita Yahudi yang tertangkap basah berzina, dari jeratan hukuman apapun termasuk rajam (Yohanes 8:1-11).
Penghakiman Yesus dalam ayat ini bertolak belakang dengan berbagai sabdanya dalam Injil, bahwa mata yang berbuat maksiat harus dicungkil dan dibuang.
“Dan jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu masuk ke dalam hidup dengan bermata satu dari pada dicampakkan ke dalam api neraka dengan bermata dua” (Matius 18:9, Matius 5:29).
Selain itu, dengan membebaskan perempuan yang tertangkap basah melakukan zina (skandal seks) dari jeratan hukum, berarti Yesus telah melanggar Hukum Taurat tentang hukum rajam (dilempari batu) sampai mati (Ulangan 22:22-24). Bukankah salah satu misi Yesus bukanlah untuk meniadakan hukum Taurat, melainkan untuk menggenapinya (Matius 5:17)?
Lebih jauh lagi, Pendeta Muhammad Bambang akan menemui banyak kesulitan jika ingin menerapkan Hukum Kasih dalam hal pelacuran. Karena di samping menetapkan hukum yang keras dalam pidana perzinaan, Perjanjian Lama banyak memberikan angin segar bagi perzinaan. Misalnya, Tuhan menyuruh Nabi Hosea untuk bercinta dan menikahi pelacur Gomer.
“Ketika Tuhan pertama kali berbicara kepada bangsa Israel dengan perantaraanku, Tuhan berkata, “Hosea, kawinilah seorang yang suka melacur, dan anak-anakmu juga akan menjadi seperti dia. Umat-Ku sama seperti istrimu itu; mereka tidak setia kepada-Ku, dan meninggalkan Aku” (Hosea 1:2-3, BIS).
Apakah atas dasar ayat ini, Pendeta Bambang ingin mengasihi pezina sehingga memprotes keras ayat Al-Qur'an yang menetapkan sanksi bagi pelaku perzinaan? Akankah Pendeta Bambang bersukacita jika di dunia ini tidak ada hukum yang menjerat para pezina dengan hukuman keras, sehingga perselingkuhan makin merajalela? Itukah makna kasih seorang pendeta bagi para pezina? [A. Ahmad Hizbullah MAG/suaraislam]
Posting Komentar