Go Ihsan - Beberapa Contoh Cara Mendidik Anak yang
Nakal
Syariat Islam yang agung mengajarkan
kepada umatnya beberapa cara pendidikan bagi anak yang bisa ditempuh untuk
meluruskan penyimpangan akhlaknya. Di antara cara-cara tersebut adalah:
Pertama, teguran dan nasihat yang baik
Ini termasuk metode pendidikan yang sangat
baik dan bermanfaat untuk meluruskan kesalahan anak. Metode ini sering
dipraktikkan langsung oleh pendidik terbesar bagi umat ini, Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, misalnya ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam melihat seorang anak kecil yang ketika sedang makan menjulurkan
tangannya ke berbagai sisi nampan makanan, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (sebelum makan), dan
makanlah dengan tangan kananmu, serta makanlah (makanan) yang ada di
hadapanmu.“[1]
Serta dalam hadits yang terkenal,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada anak paman beliau,
Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Wahai anak kecil, sesungguhnya aku
ingin mengajarkan beberapa kalimat (nasihat) kepadamu: jagalah
(batasan-batasan/ syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah
(batasan-batasan/ syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu.”[2]
Kedua, menggantung tongkat atau alat
pemukul lainnya di dinding rumah
Ini bertujuan untuk mendidik anak-anak
agar mereka takut melakukan hal-hal yang tercela.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menganjurkan ini dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Gantungkanlah cambuk (alat pemukul) di tempat yang terlihat oleh penghuni
rumah, karena itu merupakan pendidikan bagi mereka.”[3]
Bukanlah maksud hadits ini agar orangtua
sering memukul anggota keluarganya, tapi maksudnya adalah sekadar membuat
anggota keluarga takut terhadap ancaman tersebut, sehingga mereka meninggalkan
perbuatan buruk dan tercela.[4]
Imam Ibnul Anbari berkata, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memaksudkan dengan perintah untuk
menggantungkan cambuk (alat pemukul) untuk memukul, karena beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan hal itu kepada seorang pun. Akan tetapi,
yang beliau maksud adalah agar hal itu menjadi pendidikan bagi mereka.”[5]
Masih banyak cara pendidikan bagi anak
yang dicontohkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh
Muhammad bin Jamil Zainu[6] menyebutkan beberapa di antaranya, seperti:
menampakkan muka masam untuk menunjukkan ketidaksukaan, mencela atau menegur
dengan suara keras, berpaling atau tidak menegur dalam jangka waktu tertentu,
memberi hukuman ringan yang tidak melanggar syariat, dan lain-lain.
Bolehkah Memukul Anak yang Nakal untuk
Mendidiknya?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Perintahkanlah kepada anak-anakmu untuk (melaksanakan) shalat (lima
waktu) sewaktu mereka berumur tujuh tahun, pukullah mereka karena
(meninggalkan) shalat (lima waktu) jika mereka (telah) berumur sepuluh tahun,
serta pisahkanlah tempat tidur mereka.“[7]
Hadits ini menunjukkan bolehnya memukul
anak untuk mendidik mereka jika mereka melakukan perbuatan yang melanggar
syariat, jika anak tersebut telah mencapai usia yang memungkinkannya bisa
menerima pukulan dan mengambil pelajaran darinya –dan ini biasanya di usia
sepuluh tahun. Dengan syarat, pukulan tersebut tidak terlalu keras dan tidak
pada wajah.[8]
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
ketika ditanya, “Bolehkah menghukum anak yang melakukan kesalahan dengan
memukulnya atau meletakkan sesuatu yang pahit atau pedis di mulutnya, seperti
cabai/ lombok?”, beliau menjawab, “Adapun mendidik (menghukum) anak dengan
memukulnya, maka ini diperbolehkan (dalam agama Islam) jika anak tersebut telah
mencapai usia yang memungkinkannya untuk mengambil pelajaran dari pukulan
tersebut, dan ini biasanya di usia sepuluh tahun.
Adapun memberikan sesuatu yang pedis (di
mulutnya) maka ini tidak boleh, karena ini bisa jadi mempengaruhinya
(mencelakakannya)…. Berbeda dengan pukulan yang dilakukan pada badan maka ini
tidak mengapa (dilakukan) jika anak tersebut bisa mengambil pelajaran darinya,
dan (tentu saja) pukulan tersebut tidak terlalu keras.
Untuk anak yang berusia kurang dari
sepuluh tahun, hendaknya dilihat (kondisinya), karena Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam hanya membolehkan untuk memukul anak (berusia) sepuluh tahun
karena meninggalkan shalat. Maka, yang berumur kurang dari sepuluh tahun
hendaknya dilihat (kondisinya). Terkadang, seorang anak kecil yang belum
mencapai usia sepuluh tahun memiliki pemahaman (yang baik), kecerdasan dan
tubuh yang besar (kuat) sehingga bisa menerima pukulan, celaan, dan pelajaran
darinya (maka anak seperti ini boleh dipukul), dan terkadang ada anak kecil
yang tidak seperti itu (maka anak seperti ini tidak boleh dipukul).”[9]
Cara-Cara Menghukum Anak yang Tidak
Dibenarkan Dalam Islam[10]
Di antara cara tersebut adalah:
1. Memukul wajah
Ini dilarang oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau, yang artinya, “Jika salah seorang dari
kalian memukul, maka hendaknya dia menjauhi (memukul) wajah.”[11]
2. Memukul yang terlalu keras sehingga
berbekas
Ini juga dilarang oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.[12]
3. Memukul dalam keadaan sangat marah
Ini juga dilarang karena dikhawatirkan
lepas kontrol sehingga memukul secara berlebihan.
Dari Abu Mas’ud al-Badri, dia berkata,
“(Suatu hari) aku memukul budakku (yang masih kecil) dengan cemeti, maka aku
mendengar suara (teguran) dari belakangku, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Akan
tetapi, aku tidak mengenali suara tersebut karena kemarahan (yang sangat).
Ketika pemilik suara itu mendekat dariku, maka ternyata dia adalah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau yang berkata, ‘Ketahuilah, wahai Abu
Mas’ud! Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud!’ Maka aku pun melempar cemeti dari
tanganku, kemudian beliau bersabda, ‘Ketahuilah, wahai Abu Mas’ud! Sesungguhnya
Allah lebih mampu untuk (menyiksa) kamu daripada kamu terhadap budak ini,’ maka
aku pun berkata, ‘Aku tidak akan memukul budak selamanya setelah (hari)
ini.‘”[13]
4. Bersikap terlalu keras dan kasar
Sikap ini jelas bertentangan dengan sifat
lemah lembut yang merupakan sebab datangnya kebaikan, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang terhalang dari
(sifat) lemah lembut, maka (sungguh) dia akan terhalang dari (mendapat)
kebaikan.”[14]
5. Menampakkan kemarahan yang sangat
Ini juga dilarang karena bertentangan
dengan petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bukanlah orang yang
kuat itu (diukur) dengan (kekuatan) bergulat (berkelahi), tetapi orang yang
kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.“[15]
Penutup
Demikianlah bimbingan yang mulia dalam
syariat Islam tentang cara mengatasi penyimpangan akhlak pada anak, dan tentu
saja taufik untuk mencapai keberhasilan dalam amalan mulia ini ada di tangan
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, banyak berdoa dan memohon
kepada-Nya merupakan faktor penentu yang paling utama dalam hal ini.
Akhirnya, kami akhiri tulisan ini dengan
memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan nama-nama-Nya yang maha indah
dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia senantiasa menganugerahkan
kepada kita taufik-Nya untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dalam
mendidik dan membina keluarga kita, untuk kebaikan hidup kita semua di dunia
dan akhirat. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا Ù…Øمد وآله
وصØبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الØمد لله رب العالمين
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim, M.A
Kota Kendari, 9 Dzulhijjah 1431 H,
Sumber: muslim.or.id
[1] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no.
5061, dan Muslim no. 2022.
[2] Hadits riwayat At-Tirmidzi no. 2516,
Ahmad: 1/293), dan lain-lain; dinyatakan shahih oleh Imam At-Tirmidzi dan Syekh
Al-Albani dalam Shahihul Jami’ish Shagir, no. 7957.
[3] Hadits riwayat Abdur Razzaq dalam
Al-Mushannaf: 9/477 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir no. 10671;
dinyatakan hasan oleh Al-Haitsami dan Al-Albani dalam Ash-Shahihah, no. 1447.
[4] Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina
wal Murabbiyyat, hlm. 97.
[5] Dinukil oleh Imam Al-Munawi dalam
kitab Faidhul Qadir: 4/325.
[6] Dalam kitab beliau Nida`un ilal
Murabbiyyina wal Murabbiyyat, hlm. 95–97.
[7] Hadits riwayat Abu Daud, no. 495;
dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albani.
[8] Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi: 2/370.
[9] Kitab Majmu’atul As`ilah Tahummul
Usratal Muslimah, hlm. 149–150.
[10] Lihat kitab Nida`un ilal Murabbiyyina
wal Murabbiyyat, hlm. 89–91.
[11] Hadits riwayat Abu Daud, no. 4493;
dinyatakan shahih oleh Syekh Al-Albani.
[12] Hadits shahih riwayat Muslim, no.
1218.
[13] Hadits shahih riwayat Muslim, no.
1659.
[14] Hadits shahih riwayat Muslim, no.
2529.
[15] Hadits shahih riwayat Al-Bukhari no.
5763, dan Muslim no. 2609.
Posting Komentar