Go Ihsan -Keteguhan pendirian akan
keyakinannya juga membuat Hatta tidak memiliki keberanian untuk menenggak
minuman yang bisa memabukkan, sehingga ia sering menjadi bahan “ledekan”
teman-temannya. Hatta mengisahkan hal ini: “Selama di Hamburg masih sempat kami
pada suatu malam bersama-sama dengan Dr. Eichele dan Usman Idris melihat opera.
Sebelum menonton opera itu kami makan malam dahulu pada sebuah restoran. Dahlan
Abdullah, Dr. Eichele dan Usman Idris memesan bir untuk minum, aku pesan air
es. Setelah selesai makan dan membayar harganya, aku ditertawakan oleh Dahlan
Abdullah, bahwa minumanku air es lebih mahal harganya dari bir. Teman yang dua
lainnya ikut tertawa. Di masa itu tiap-tiap restoran memesan bir berbotol-botol
sekali pesan, sedangkan es dipesan dari pabrik es setiap kali. Frigidaire di
waktu itu belum ada.”
Meski berpegang teguh pada pendirian keagamaannya, Hatta tetap mengembangkan pergaulan yang luas dan luwes. Selama berkuliah di Belanda dan menjadi aktivis Perhimpunan Indonesia, ia menjalin hubungan erat dengan aktivis-aktivis berlatar Sumatera (seperti Nazir Pamuntjak), Jawa (seperti Subardjo dan Gunawan Mangoenkoesoemo), Sunda (seperti Iwa Koesoema Soemantri), Indonesia Timur (seperti A.A. Maramis dan Arnold Monotutu), dan Tionghoa (seperti Dr. Liem); bahkan tak segan menjalin komunikasi dengan aktivis-aktivis kiri seperti Tan Malaka dan Semaun.
Rentang pergaulannya lantas dikembangkan ke gelanggang internasional dalam liga-liga antipenjajahan. Ia, misalnya menjalin hubungan baik dengan tokoh India, Jawaharlal Nehru. Pada tahun 1930, Hatta bersama Nehru, serta dua orang aktivis lainnya dari Eropa, dikeluarkan dari keanggotaan Liga menentang Imperlialisme dan untuk Kemerdekaan Nasional yang berhaluan Komunis, karena dituduh berhaluan reformis (Hatta, 1982: 242-243).
Dengan dasar sufisme yang menekankan dimensi batin dan akhlak agama, ketimbang dimensi lahiriah dan formalisme keagamaan; ditambah dengan bacaan dan pergaulan yang luas, Hatta menjadi seorang Muslim yang teguh dengan tetap bersifat inklusif. Ia memberi tamsil bahwa cara beragamanya tidak ingin seperti memakai “gincu”, begitu jelas terlihat namun tak bisa dirasakan nilainya oleh orang lain. Cara beragamanya ingin meniru “garam” dalam larutan. Tidak terlihat, namun nilainya bisa dirasakan oleh setiap orang.
Sumber: Republika
Meski berpegang teguh pada pendirian keagamaannya, Hatta tetap mengembangkan pergaulan yang luas dan luwes. Selama berkuliah di Belanda dan menjadi aktivis Perhimpunan Indonesia, ia menjalin hubungan erat dengan aktivis-aktivis berlatar Sumatera (seperti Nazir Pamuntjak), Jawa (seperti Subardjo dan Gunawan Mangoenkoesoemo), Sunda (seperti Iwa Koesoema Soemantri), Indonesia Timur (seperti A.A. Maramis dan Arnold Monotutu), dan Tionghoa (seperti Dr. Liem); bahkan tak segan menjalin komunikasi dengan aktivis-aktivis kiri seperti Tan Malaka dan Semaun.
Rentang pergaulannya lantas dikembangkan ke gelanggang internasional dalam liga-liga antipenjajahan. Ia, misalnya menjalin hubungan baik dengan tokoh India, Jawaharlal Nehru. Pada tahun 1930, Hatta bersama Nehru, serta dua orang aktivis lainnya dari Eropa, dikeluarkan dari keanggotaan Liga menentang Imperlialisme dan untuk Kemerdekaan Nasional yang berhaluan Komunis, karena dituduh berhaluan reformis (Hatta, 1982: 242-243).
Dengan dasar sufisme yang menekankan dimensi batin dan akhlak agama, ketimbang dimensi lahiriah dan formalisme keagamaan; ditambah dengan bacaan dan pergaulan yang luas, Hatta menjadi seorang Muslim yang teguh dengan tetap bersifat inklusif. Ia memberi tamsil bahwa cara beragamanya tidak ingin seperti memakai “gincu”, begitu jelas terlihat namun tak bisa dirasakan nilainya oleh orang lain. Cara beragamanya ingin meniru “garam” dalam larutan. Tidak terlihat, namun nilainya bisa dirasakan oleh setiap orang.
Sumber: Republika
Posting Komentar