Meski berpegang teguh pada pendirian keagamaannya, Hatta tetap mengembangkan pergaulan yang luas dan luwes. Selama berkuliah di Belanda dan menjadi aktivis Perhimpunan Indonesia, ia menjalin hubungan erat dengan aktivis-aktivis berlatar Sumatera (seperti Nazir Pamuntjak), Jawa (seperti Subardjo dan Gunawan Mangoenkoesoemo), Sunda (seperti Iwa Koesoema Soemantri), Indonesia Timur (seperti A.A. Maramis dan Arnold Monotutu), dan Tionghoa (seperti Dr. Liem); bahkan tak segan menjalin komunikasi dengan aktivis-aktivis kiri seperti Tan Malaka dan Semaun.
Rentang pergaulannya lantas dikembangkan ke gelanggang internasional dalam liga-liga antipenjajahan. Ia, misalnya menjalin hubungan baik dengan tokoh India, Jawaharlal Nehru. Pada tahun 1930, Hatta bersama Nehru, serta dua orang aktivis lainnya dari Eropa, dikeluarkan dari keanggotaan Liga menentang Imperlialisme dan untuk Kemerdekaan Nasional yang berhaluan Komunis, karena dituduh berhaluan reformis (Hatta, 1982: 242-243).
Dengan dasar sufisme yang menekankan dimensi batin dan akhlak agama, ketimbang dimensi lahiriah dan formalisme keagamaan; ditambah dengan bacaan dan pergaulan yang luas, Hatta menjadi seorang Muslim yang teguh dengan tetap bersifat inklusif. Ia memberi tamsil bahwa cara beragamanya tidak ingin seperti memakai “gincu”, begitu jelas terlihat namun tak bisa dirasakan nilainya oleh orang lain. Cara beragamanya ingin meniru “garam” dalam larutan. Tidak terlihat, namun nilainya bisa dirasakan oleh setiap orang.
Sumber: Republika
Posting Komentar