Halloween party ideas 2015

Go Ihsan - Dari pengamatan terhadap sejarah orang-orang yang tersesat di muka bumi dan dengan melakukan pembahasan ilmiah terhadapnya, dapat disimpulkan bahwa penyebab utama kesesatan aqidah adalah tiga hal:

1. Penyimpangan pemikiran dari manhaj berpikir yang benar menurut Islam.
2. Penyimpangan jiwa dari manhaj mental-perilaku yang lurus.
3. Kelemahan iradah (kemauan/kehendak) di hadapan dominasi politik, atau dominasi sosial, atau dominasi spiritual, atau kelemahan iradah di hadapan orang yang memiliki kekuatan dan pengaruh, sehingga ia mampu menggiring mereka yang lemah iradah ini kepada kesesatan.

1. Penyimpangan Pemikiran dari Manhaj Berpikir yang Benar
Aqidah di dalam Islam tidak boleh masuk ke dalam hati atau jiwa seseorang kecuali setelah melalui proses seleksi yang benar dengan menggunakan metode yang ditetapkan oleh Allah swt. Namun banyak manusia yang menjadikan begitu saja dugaan-dugaan atau khayalan mereka menjadi aqidah yang mereka yakini tanpa melalui proses seleksi yang tepat sehingga aqidah mereka tidak didasari oleh ilmu.

Penyimpangan pemikiran ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:

1.a. Ghurur (merasa diri besar) dan Silau dengan Pendapat Sendiri
Bisa jadi ada sebuah lintasan pikiran atau ide dalam benak seseorang lalu karena merasa dirinya hebat maka ide mentah itu menjadi luar biasa menurutnya, lalu tanpa mengujinya dengan metode yang benar langsung dijadikannya sebagai aqidah yang menjadi keyakinannya. Kemudian pemikiran yang sesat ini ia sebarkan di kalangan awam yang lemah metode berpikirnya dengan ucapan yang dihiasi hujjah palsu atau menggunakan kekuatan pribadinya sehingga mereka menjadi para pengikutnya yang setia.

1.b. Kelemahan Akal dan Menerima begitu saja Pemikiran Sesat yang Dikatakan
Di sebuah komunitas masyarakat biasanya muncul pemikiran yang menyimpang dari jalan yang lurus. Sering kali pemikiran sesat ini mendapat sambutan masyarakat disebabkan oleh keterbelakangan pola pikir mereka, kemudian dengan berlalunya zaman yang panjang pemikiran ini menjadi aqidah masyarakat tersebut yang diwarisi turun temurun dan tidak dapat didiskusikan lagi. Mungkin juga aqidah sesat ini tidak muncul dengan sendirinya, tapi direkayasa oleh pihak tertentu yang mengambil keuntungan dari kesesatan mereka.


Keterbelakangan pola pikir dan kelemahan akal ini biasanya menjadi sebab penyebaran aqidah sesat di masyarakat-masyarakat kuno atau terbelakang yang jauh dari pusat ilmu dan peradaban.

1.c. Ta’ashub & Taqlid Buta
Seseorang yang hidup dalam lingkungan sebuah masyarakat tertentu, pasti di sana ia memperolah banyak informasi dan keterampilan, juga beragam kebiasaan dan perilaku. Perolehan dari lingkungan ini ada yang benar dan ada yang salah. Namun karena ia berasal dari daerah tersebut, terbentuklah perasaan ‘sudah biasa’ atau ‘akrab’ dengan semua itu tanpa peduli benar atau salah. Ketika ia merasa dirinya sebagai bagian dari masyarakatnya boleh jadi terbentuk perasaan ta’ashub (fanatisme) terhadap keluarga, masyarakatnya, dan semua adat kebiasaan serta keyakinan mereka tanpa memberi kesempatan kepada akal sehatnya untuk merenungkan dan mendiskusikan kebenaran keyakinan masyarakatnya dengan timbangan yang benar.

Dengan kata lain bahwa banyak aqidah yang diyakini oleh berbagai bangsa di dunia ternyata adalah aqidah turun temurun dan dapat terpatri dalam jiwa hanya disebabkan oleh ta’ashub terhadap pendahulu atau nenek moyang mereka, baik yang memiliki landasan yang benar maupun tidak. Dan dari pengamatan, ternyata banyak sekali bangsa yang tidak memiliki hujjah sama sekali atas kepercayaan yang mereka yakini selain alasan kepercayaan yang sudah temurun kemudian mereka ikuti dan mereka bersikap ta’ashub terhadapnya.

Bangsa-bangsa tersebut diantaranya adalah bangsa-bangsa penyembah berhala atau penganut polytheisme di dataran Cina, India, Afrika, dan tempat-tempat lain. Seharusnya kepercayaan paganisme khurafat seperti itu tidak mungkin bertahan di era ilmu pengetahuan dan peradaban sekarang ini, ia hanya dapat hidup di zaman kegelapan yang jauh dari ilmu dan pola pikir yang benar. Satu-satunya yang memberi kekuatan bagi kepercayaan berhala khurafat itu untuk hidup di zaman moderen ini hanyalah taqlid buta dan ta’ashub para pemeluknya terhadap kepercayaan nenek moyang mereka.

Bangsa Arab sebelum dan pada permulaan Rasulullah saw diutus termasuk ke dalam kelompok ini. Ketika beliau saw mengajak mereka kepada tauhid dengan logika yang mengalahkan argumentasi mereka, Al-Quran mengabadikan jawaban mereka:

Bahkan mereka berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka”. (Az-Zukhruf (43): 22).

Oleh karenanya, Al-Quran menjatuhkan alasan ini dan menyatakannya sebagai argumentasi yang tidak dapat diterima akal sehat:
#
Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (Al-Baqarah (2): 170).

Maksudnya: “Masuk akalkah kalau mereka berpegangteguh dengan keyakinan nenek moyang hanya karena alasan taqlid tanpa berpikir sama sekali?! Seandainya nenek moyang mereka tersesat, apakah tetap akan diikuti, padahal mereka telah merasakan kehancuran?!

1.d. Kultus Individu atau Berlebihan dalam Menghormati Tokoh
Dalam setiap ummat biasanya muncul tokoh yang dihormati karena ketaqwaannya, keilmuannya, atau pengorbanannya, … Kadang penghormatan ini berubah menjadi kultus bagi sebagian masyarakat awam yang lemah pola pikirnya atau mereka yang jahil sampai pada tingkat menjadikan tokoh mereka sebagai tuhan atau seperti tuhan. Mungkin juga kesesatan ini didukung oleh “para cendekiawan” yang memanfaatkan kesesatan masyarakat demi kepentingan mereka.

Diantara ummat yang kemudian menyekutukan Allah dengan mempertuhankan tokoh mereka adalah ummat Nasrani yang menuhankan Nabi Isa putra Maryam alaihimassalam, atau ummat Nabi Nuh yang mempertuhankan orang-orang shalih terdahulu yang mereka buat patung-patunya, yakni: Wadd, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr.

Dan mereka berkata: “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr”. (Nuh (71): 23).

1.e. Filsafat Pemikiran yang Keliru
Akal manusia semata betapapun hebatnya tidak akan mampu mengetahui hakikat zat atau bentuk sesuatu yang ghaib tanpa informasi yang shahih dari wahyu yang pasti kebenarannya.

Hal ini karena akal manusia tidak akan dapat menganalisa, merangkai, atau mengkhayalkan sesuatu kecuali bila bahan-bahannya sudah ada dalam memori otaknya. Sedangkan bahan-bahan itu tidak akan ada dalam memori kecuali melalui interaksi panca indra kita dengan alam nyata. Padahal alam ghaib tidak pernah ‘diakses’ oleh panca indra sama sekali. Sebagai contoh: kita tidak mungkin meminta orang yang buta sejak lahir untuk mengkhayalkan warna biru, dan kalau ia memaksakan diri mengkhayalkannya pastilah khayalannya itu keliru, karena ia sama sekali tidak pernah melihat warna apapun sehingga tidak ada bahan dasar untuk mengkhayalkannya. Orang yang tuli sejak lahir tidak akan mampu menganalisa atau mengkhayalkan suara musik tertentu karena ia tidak pernah mendengar apapun sehingga tidak ada bahan-bahan untuk menganalisa atau mengkhayalkannya…

Begitulah kita melihat kesesatan aqidah muncul akibat akal yang dijadikan hakim penentu keimanan kepada yang ghaib tanpa mau melihat dan mengikuti petunjuk wahyu yang dibawa oleh para Rasul as.

Demikian pula tidak benar menurut akal sehat apabila yang ghaib dianalogikan sepenuhnya dengan alam nyata karena adanya banyak kemungkinan perbedaan yang amat besar antara keduanya dalam hukum-hukumnya, sehingga ia tidak dapat diketahui oleh panca indra. Semua analisa terhadap yang ghaib dengan menggunakan hukum-hukum alam dunia ini menurut akal sehat adalah analisa dan analogi yang keliru.

Mereka yang menganalogikan Allah swt dengan makhluk-Nya dalam Zat dan Sifat-Nya tanpa peduli dengan arahan wahyu, pasti ia akan terjatuh pada kesesatan tasybih (menyamakan Allah dengan makhluk) lalu mengatakan atau membayangkan Dia sebagai jasad yang memiliki batas-batas dan bentuk tertentu seperti makhluk– Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan.

Atau mereka membayangkan bahwa Allah swt adalah ruh yang perlu menyatu dengan jasad makhluk tertentu dalam bentuk manusia, hewan, tumbuhan atau benda mati. Seperti kesesatan Nasrani yang mengatakan Tuhan bersatu dengan Isa alaihissalam, atau beberapa firqah (kelompok) yang mengaku muslimin tetapi sesungguhnya telah murtad karena meyakini aqidah wahdatul wujud (Allah menyatu dengan imam mereka yang mereka kultuskan)

Atau seperti mereka yang mengatakan Allah seperti makhluk yang juga mempunyai istri, anak atau kebutuhan lain…. – Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan.

Seandainya mereka yang tersesat itu mau mendengar arahan wahyu melalui lisan Rasul-Nya pasti mereka akan mengatakan seperti ucapan seorang mukmin yang mengakui keterbatasan akalnya:
كُلُّ مَا خَطَرَ بِبَالِكَ فَاللهُ بِخِلاَفِ ذَلِكَ.
Apapun yang terlintas dalam benakmu, pasti Allah tidak seperti itu.

Karena mengkultuskan akal dalam memikirkan yang ghaib, para filosuf terjatuh pada kesesatan menganggap hari akhirat hanya merupakan alam ruh saja. Dengan sebab itu pula penganut ideologi materialisme dan Dahriyyun mengingkari hari akhir.

Seandainya mereka mau berpikir dan mengakui keterbatasan akal mereka, pastilah mereka akan mengatakan: “Sesungguhnya akal kami terbatas dengan batasan yang dimiliki panca indra, karenanya dengan akal semata kami tidak akan mampu mengkhayalkan bentuk yang ghaib dengan benar. Maka kami menerima semua informasi yang ghaib dari para Nabi dan Rasul yang pasti benar karena mereka didukung oleh mukjizat dan bukti ilmiah nyata tentang kebenaran pengakuan kenabian atau kerasulan mereka.”

Benarlah apa yang dikatakan Imam Syafi’i rahimahullah:
إِنَّ لِلْعَقْلِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ كَمَا أَنَّ لِلْبَصَرِ حَدًّا يَنْتَهِيْ إِلَيْهِ.

Sesungguhnya akal itu memiliki batas akhir seperti penglihatan yang juga memiliki batas akhir.

Berrsambung>>>>>>

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.