Go Ihsan - “Saya menyadari cara terbaik
untuk merasakan bagaimana menjadi seorang Muslim adalah dengan menjalani hidup
seperti mereka,” kata Cassidy Herrington, seorang mahasiswi, non-Muslim dan
wartawan di harian Kentucky Kernel, sebuah media yang dikelola oleh mahasiswa
di Universitas Kentucky, AS.
Keinginannya untuk mengenal
lebih dekat dan memahami kehidupan sebagai Muslim itulah yang mendorongnya
untuk mencoba “menjadi seorang muslimah” dengan cara mengenakan jilbab selama
satu bulan penuh.
“Selama sebulan saya mengenakan
jilbab, bergulat dengan persepsi yang ditunjukkan orang asing, teman bahkan
keluarga saya sendiri,” kata Herrington.
“Karena persepsi-persepsi itu,
saya berjuang ketika harus menuliskannya. Pengalaman saya berjilbab sangat
pribadi, tapi saya berharap dengan berbagi atas apa yang saya lihat, akan
membuka ruang dialog yang lebih terbuka dan kritis,” sambungnya,
Awalnya, Herrington khawatir
akan reaksi komunitas Muslim ketika melihatnya yang non-Muslim mengenakan
jilbab. Untuk itu, ia merasa harus mendapatkan persetujuan dari komunitas
Muslim sebelum mulai mengenakan jilbab.
Tanggal 16 September,
Herrington mendatangi sebuah organisasi Muslim Student Association (MSA) dan
mengenalkan dirinya. Ia mengaku sangat grogi ketika pertama kali datang ke
kantor itu. Di sana ia bertemu dengan Heba Sulaeiman, mahasiswi yang menjabat
sebagai Presiden MSA, yang menyambut gembira setelah mendengar rencana dan
maksud kedatangan Herrington ke tempat itu.
“Ide yang mengagumkan,” kata
Herrington menirukan respon Suleiman.
Herrington merasakan ketegangan
dan kegelisahan yang dirasakannya mulai mencair. Ia mengucapkan
“Assalamu’alaikum” saat mengenalkan dirinya di hadapan sejumlah anggota MSA dan
ia mendengar belasan orang yang hadir membalasnya dengan ucapan
“wa’alaikumsalam.”
Ketika akan meninggalkan kantor
MSA, beberapa orang remaja muslim mendekatinya. “Saya tidak akan melupakan
seorang diantara mereka mengatakan ‘ini memberi saya harapan’, sementara remaja
yang lain berujar ‘saya muslim, dan saya bahkan tidak bisa melakukan hal itu’,”
tutur Herrington.
Ia tidak terlalu menanggapi
perkataan remaja-remaja tadi sampai kemudian ia merasakan bahwa “proyek” yang
dilakukannya bukan sekedar menutupi rambutnya dengan kerudung, tapi ia akan
mewakili sebuah komunitas dan sebuah agama. “Konsekuensinya, saya harus
benar-benar menjaga perilaku saya saat mengenakan jilbab,” ujar Herrington.
Dua minggu setelah datang ke
MSA, ia bertemu lagi dengan Heba Suleiman dan temannya, Leanna yang
mengajarkannya mengenakan jilbab. “Meski ini inisiatif saya sendiri, saya
merasa tidak seorang diri dan ini sangat membantu ketika saya merasa ingin
melepas jilbab dan menghentikan proyek pakai jilbab ini,” kata Herrington.
“Saya menjalani kehidupan
sehari-hari seperti biasanya. Saya bersepeda dan merasakan sensasi desiran
angin yang menyelinap di sela-sela jilbab yang saya kenakan. Saya berjalan di
depan etalase toko dan melihat sepintas refleksi wajah orang asing sampai saya
terbiasa dan menyadari bahwa refleksi wajah orang asing itu adalah saya
sendiri,” tutur Herrington menceritakan pengalamannya setelah mengenakan
jilbab.
“Mengenakan jilbab menjadi
kegiatan rutin saya tiap pagi. Suatu hari, berangkat bersepeda ke tempat
kuliah, dan ketika sampai baru sadar kalau saya lupa mengenakan jilbab,”
tukasnya sambilnya tersenyum.
Herrington mengakui jilbabnya
kadang membuatnya tidak nyaman. Ketika berbelanja di toko grosir, ia merasa
orang-orang memperhatikan dirinya. Ia tidak tahu apakah itu cuma perasaannya
saja, tapi ia merasa terasing dari orang-orang yang ia kenal dekat. “Teman
kuliah, para profesor dan teman-teman semasa sekolah menengah tidak mengatakan
apapun tentang jilbab saya, dan itu menyakitkan. Kadang, terjadi gap setiap
kali kami berbincang-bincang,” ungkap Herrington.
Suatu ketika, ia makan di
sebuah restoran Timur Tengah King Tut. Pemilik restoran bernama Ashraf Yusuf
memuji proyek jilbabnya dan menanyakan apakah ia akan tetap mengenakan jilbab
setelah proyeknya selesai. Herrington hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Seorang non-Muslim yang
mengenakan jilbab, hanya mengenakan penutup kepala,” kata Yusuf.
Herrington pernah juga dikirimi
email dari seseorang. Ketika ia membuka email berisi file audio, terdengar suara
bacaan salat dari Makkah, tapi tiba-tiba terdengar suara tembakan tiga kali
lalu suara lagu kebangsaan AS.
Herrington menegur orang yang
mengiriminya email itu dan orang itu mengatakan bahwa ia cuma bercanda.
Herrington mulai mengerti bahwa memang ada masalah fobia dan sikap tidak
toleran terhadap Islam dan Muslim.
“Email itu membuktikan bahwa
banyak orang yang tidak akurat memandang Islam,” imbuhnya.
Sebulan penuh mengenakan
jilbab, selama bulan Oktober kemarin, memberikan pemahaman baru bagi Herrington
bahwa tak ada yang perlu ditakuti dengan eksistensi komunitas Muslim.
“Faktanya, banyak tentara AS yang muslim, yang ikut membela negeri ini. Apa
yang Anda lihat atau Anda dengar dari media tentang Islam, bisa saja keliru.
Kalau Anda menginginkan kebenaran, bergaullah dengan muslim,” tandasnya.
Untuk saat ini, Herrington
mungkin sudah melepas kembali jilbabnya, ia juga minta maaf pada orang-orang
yang merasa telah tertipu dengan identintasnya. Tapi dengan pengalamannya
berjilbab, semoga Allah Swt menganugerahkan hidayah dan cahaya Islam bagi
Herrington. (ln/KK/Era)
Posting Komentar