Go Ihsan - Cendikiawan Muslim
Prof Didin Hafidhuddin beranggapan pandangan yang mengatakan poligami bukan
ajaran Islam sudah merupakan pendapat yang usang.
“(Poligami bukan ajaran Islam) itu sudah ada pendapat dari dulu, orientalis mengatakan itu (bukan ajaran Islam),” kata dia seperti dilansir Republika.co.id, Senin (17/12/2018).
Guru besar ilmu agama Islam di Institut Pertanian Bogor (IPB) itu mengatakan, orang yang antipoligami artinya tidak paham dengan Islam. Pun bisa saja, orang tersebut hanya melihat praktik poligami yang tidak sehat. Dia tak menampik, banyak suami tak bertanggung jawab yang mempraktikkan polgami.
“Padahal poligami itu kan bagian ajaran Islam. Kita harus yakin dengan ajaran itu, tapi implementasinya ada persyaratannya,” ujar Didin.
Dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menegaskan syarat berpoligami tertulis jelas dalam Alquran QS An-Nisaa’. Dalam surah itu dijelaskan, poligami diizinkan asalkan bisa berlaku adil dalam segala hal, kecuali adil dalam cinta. Sebab, cinta dan kasih sayang tidak bisa dibohongi dan lebih condong pada seseorang.
“Banyak yang berpoligami berhasil, anaknya baik, dan bertanggung jawab. Sebaliknya, jangan dikira orang yang tak berpoligami berhasil, banyak yang tak berhasil mendidik anak dan keluarga kok. Tergantung individu, keinginan, sikap,” tutur dia.
Didin menekankan tidak ada ulama yang menekankan bahwa poligami bukan ajaran Islam. Pada zaman jahiliyah, ada seorang yang memiliki perempuan lebih dari 10.
Dia mengungkapkan, konon ada pria yang merupakan kepala suku itu masuk Islam. Nabi memintanya memilih empat dari istri-istrinya dan meninggalkan enam lainnya dengan cara baik-baik. “Jadi memang itu pembatasan dari satu situasi dan kondisi,” ujar dia.
Didin mengatakan, salah satu contoh poligami pada zaman nabi adalah Ibrahim AS dengan Sarah dan Hajar. Menurut dia, poligami sudah tidak perlu lagi dipersoalkan hukumnya. Namun, bagaimana seseorang bisa mengimplementaskannya dengan baik.
“Kalau misalnya tak mampu, jangan berpoligami, jangan merusak dirinya, keluarganya, dan ajaran Islam. Kalau mampu, silakan. Buktikan bahwa poligami itu memberikan kebaikan, bukan semata-mata nafsu saja,” kata Didin.
Sementara Rasulullah SAW, dia mengatakan, berpoligami karena memiliki alasan kuat, seperti berdakwah, mengangkat derajat perempuan.
“Ketika ada sorang wanita yang suami pertamanya seorang hamba sahaya, maka dipastikan wanita itu tak akan laku lagi dengan yang lain. Rasulullah SAW menikahi dia dengan tujuan mengangkat harkat dan tujuan kaum wanita, ada tujuan untuk dakwah,” tutur Didin. (Gala)
“(Poligami bukan ajaran Islam) itu sudah ada pendapat dari dulu, orientalis mengatakan itu (bukan ajaran Islam),” kata dia seperti dilansir Republika.co.id, Senin (17/12/2018).
Guru besar ilmu agama Islam di Institut Pertanian Bogor (IPB) itu mengatakan, orang yang antipoligami artinya tidak paham dengan Islam. Pun bisa saja, orang tersebut hanya melihat praktik poligami yang tidak sehat. Dia tak menampik, banyak suami tak bertanggung jawab yang mempraktikkan polgami.
“Padahal poligami itu kan bagian ajaran Islam. Kita harus yakin dengan ajaran itu, tapi implementasinya ada persyaratannya,” ujar Didin.
Dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu menegaskan syarat berpoligami tertulis jelas dalam Alquran QS An-Nisaa’. Dalam surah itu dijelaskan, poligami diizinkan asalkan bisa berlaku adil dalam segala hal, kecuali adil dalam cinta. Sebab, cinta dan kasih sayang tidak bisa dibohongi dan lebih condong pada seseorang.
“Banyak yang berpoligami berhasil, anaknya baik, dan bertanggung jawab. Sebaliknya, jangan dikira orang yang tak berpoligami berhasil, banyak yang tak berhasil mendidik anak dan keluarga kok. Tergantung individu, keinginan, sikap,” tutur dia.
Didin menekankan tidak ada ulama yang menekankan bahwa poligami bukan ajaran Islam. Pada zaman jahiliyah, ada seorang yang memiliki perempuan lebih dari 10.
Dia mengungkapkan, konon ada pria yang merupakan kepala suku itu masuk Islam. Nabi memintanya memilih empat dari istri-istrinya dan meninggalkan enam lainnya dengan cara baik-baik. “Jadi memang itu pembatasan dari satu situasi dan kondisi,” ujar dia.
Didin mengatakan, salah satu contoh poligami pada zaman nabi adalah Ibrahim AS dengan Sarah dan Hajar. Menurut dia, poligami sudah tidak perlu lagi dipersoalkan hukumnya. Namun, bagaimana seseorang bisa mengimplementaskannya dengan baik.
“Kalau misalnya tak mampu, jangan berpoligami, jangan merusak dirinya, keluarganya, dan ajaran Islam. Kalau mampu, silakan. Buktikan bahwa poligami itu memberikan kebaikan, bukan semata-mata nafsu saja,” kata Didin.
Sementara Rasulullah SAW, dia mengatakan, berpoligami karena memiliki alasan kuat, seperti berdakwah, mengangkat derajat perempuan.
“Ketika ada sorang wanita yang suami pertamanya seorang hamba sahaya, maka dipastikan wanita itu tak akan laku lagi dengan yang lain. Rasulullah SAW menikahi dia dengan tujuan mengangkat harkat dan tujuan kaum wanita, ada tujuan untuk dakwah,” tutur Didin. (Gala)
Posting Komentar