Go Ihsan - Seorang guru muslimah memilih mengundurkan diri dari
pekerjaannya di sebuah sekolah di Mumbai pekan lalu. Keputusan ini ia ambil
setelah enam bulan mengalami diskriminasi dari pihak sekolah.
“Saya mencoba untuk membuat mereka mengerti tentang burqa
dan jilbab, yang merupakan bagian dari keyakinan dan tradisi keagamaan keluarga
saya, tapi tidak berhasil dan akhirnya saya harus mengajukan pengunduran diri
saya,” ujar Shabina Khan Nazneen, yang mengajar IT di SMA berbasis Inggris,
Vivek, kepada Anadolu Agency.
Shabina telah bekerja di sekolah itu selama hampir tiga
tahun. Ia mengaku tidak pernah mendapatkan diskriminasi seperti itu, hingga
diangkatnya kepala sekolah yang baru.
“Sebelumnya tidak ada masalah. Tapi setelah kepala sekolah
bergabung dengan sekolah pada bulan Juni tahun ini, dia terus meminta saya
untuk melepas burqa dan jilbab dengan alasan menjaga kesopanan sekolah.
Akhirnya pada 5 Desember, saat sesi apel pagi, saat acara lantunan doa dan menyanyikan
lagu kebangsaan, dia bersikeras agar saya melepaskan burqa dan jilbab,”
imbuhnya.
Pihak sekolah mengaku belum menerima surat pengunduran
dirinya. Namun, seperti dikutip dari media lokal, kepala sekolah Vikram Pillai
mengatakan pihaknya akan membuat keputusan minggu depan. Sementara itu surat
kabar harian Indian Express mengutip bahwa sekolah mengatakan insiden tersebut
sebagai sebuah “kesalahpahaman”.
Adil Khatri, dari LSM Jai Ho Foundation di Mumbai,
menyatakan ada di pihak Shabina. Kepada Anadolu Agency, pihaknya mengatakan
telah menulis kepada menteri pendidikan negara dan sedang menunggu balasan.
“Sekarang, saya pikir pihak sekolah berada di bawah tekanan.
Saya berharap tindakan yang tepat akan diambil atas diskriminasi ini,” kata
Khatri.
Banyak pihak di India mengkhawatirkan adanya peningkatan
diskriminasi semacam ini. Human Rights Watch, pada tahun 2016 mencatat telah
terjadi kasus-kasus serius terkait diskriminasi dan intimidasi. Namun, tidak
ada yang mengajukan tuntutan kepada pemerintah.
Altaf Qadri, seorang wartawan foto pemenang penghargaan di
New Delhi untuk Associated Press, mengatakan kepada Anadolu bahwa dirinya
sering menghadapi diskriminasi karena memiliki jenggot.
“Ini sangat memalukan ketika Anda diperlakukan berbeda dari
rekan-rekan Anda yang lain. Dalam jangka panjang hal itu mempengaruhi psikologi
Anda dan cara pandang Anda,” katanya.
“Sekitar tiga tahun yang lalu, saya pergi menghadiri sebuah
acara di markas Angkatan Darat di New Delhi. Saya diperiksa beberapa kali,
tidak seperti rekan-rekan wartawan saya. Saya merasa buruk dan akhirnya
meninggalkan tempat itu dan tidak jadi mengambil gambar,” tambah Qadri.
M. Reyaz, asisten profesor di Aliah University di Kolkata,
mengatakan walaupun tidak ada yang baru dalam diskriminasi berdasarkan
identitas tersebut, elemen komunal yang ekstrem menjadi lebih berani sejak
partai nasionalis Bharatiya Janata (BJP) yang berasaskan Hindu berkuasa pada
tahun 2014.
“Ambil contoh tentara atau polisi yang berjenggot dianggap
normal jika dari kalangan Sikh. Tetapi ada kasus di mana umat Islam harus
berjuang habis-habisan saat menjalani pengadilan hukum. Bagi wanita, itu
menjadi lebih sulit karena di media, jilbab dipandang satu hal yang mencolok.
Terlebih bahwa perempuan berjilbab kini memenangkan medali di Olimpiade,” kata
Reyaz. (kiblat)
Posting Komentar