Halloween party ideas 2015

Go Ihsan - Seorang guru muslimah memilih mengundurkan diri dari pekerjaannya di sebuah sekolah di Mumbai pekan lalu. Keputusan ini ia ambil setelah enam bulan mengalami diskriminasi dari pihak sekolah.

“Saya mencoba untuk membuat mereka mengerti tentang burqa dan jilbab, yang merupakan bagian dari keyakinan dan tradisi keagamaan keluarga saya, tapi tidak berhasil dan akhirnya saya harus mengajukan pengunduran diri saya,” ujar Shabina Khan Nazneen, yang mengajar IT di SMA berbasis Inggris, Vivek, kepada Anadolu Agency.

Shabina telah bekerja di sekolah itu selama hampir tiga tahun. Ia mengaku tidak pernah mendapatkan diskriminasi seperti itu, hingga diangkatnya kepala sekolah yang baru.


“Sebelumnya tidak ada masalah. Tapi setelah kepala sekolah bergabung dengan sekolah pada bulan Juni tahun ini, dia terus meminta saya untuk melepas burqa dan jilbab dengan alasan menjaga kesopanan sekolah. Akhirnya pada 5 Desember, saat sesi apel pagi, saat acara lantunan doa dan menyanyikan lagu kebangsaan, dia bersikeras agar saya melepaskan burqa dan jilbab,” imbuhnya.

Pihak sekolah mengaku belum menerima surat pengunduran dirinya. Namun, seperti dikutip dari media lokal, kepala sekolah Vikram Pillai mengatakan pihaknya akan membuat keputusan minggu depan. Sementara itu surat kabar harian Indian Express mengutip bahwa sekolah mengatakan insiden tersebut sebagai sebuah “kesalahpahaman”.

Adil Khatri, dari LSM Jai Ho Foundation di Mumbai, menyatakan ada di pihak Shabina. Kepada Anadolu Agency, pihaknya mengatakan telah menulis kepada menteri pendidikan negara dan sedang menunggu balasan.

“Sekarang, saya pikir pihak sekolah berada di bawah tekanan. Saya berharap tindakan yang tepat akan diambil atas diskriminasi ini,” kata Khatri.

Banyak pihak di India mengkhawatirkan adanya peningkatan diskriminasi semacam ini. Human Rights Watch, pada tahun 2016 mencatat telah terjadi kasus-kasus serius terkait diskriminasi dan intimidasi. Namun, tidak ada yang mengajukan tuntutan kepada pemerintah.

Altaf Qadri, seorang wartawan foto pemenang penghargaan di New Delhi untuk Associated Press, mengatakan kepada Anadolu bahwa dirinya sering menghadapi diskriminasi karena memiliki jenggot.

“Ini sangat memalukan ketika Anda diperlakukan berbeda dari rekan-rekan Anda yang lain. Dalam jangka panjang hal itu mempengaruhi psikologi Anda dan cara pandang Anda,” katanya.

“Sekitar tiga tahun yang lalu, saya pergi menghadiri sebuah acara di markas Angkatan Darat di New Delhi. Saya diperiksa beberapa kali, tidak seperti rekan-rekan wartawan saya. Saya merasa buruk dan akhirnya meninggalkan tempat itu dan tidak jadi mengambil gambar,” tambah Qadri.

M. Reyaz, asisten profesor di Aliah University di Kolkata, mengatakan walaupun tidak ada yang baru dalam diskriminasi berdasarkan identitas tersebut, elemen komunal yang ekstrem menjadi lebih berani sejak partai nasionalis Bharatiya Janata (BJP) yang berasaskan Hindu berkuasa pada tahun 2014.

“Ambil contoh tentara atau polisi yang berjenggot dianggap normal jika dari kalangan Sikh. Tetapi ada kasus di mana umat Islam harus berjuang habis-habisan saat menjalani pengadilan hukum. Bagi wanita, itu menjadi lebih sulit karena di media, jilbab dipandang satu hal yang mencolok. Terlebih bahwa perempuan berjilbab kini memenangkan medali di Olimpiade,” kata Reyaz. (kiblat)

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.